About Blog

Blog tentang matematika

16 Maret 2011

KONSTRUKTIVISME RADIKAL DAN BIOLOGI KOGNITIF

1. Hakikat Pembelajaran Menurut Paham Konstruktivisme
Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Surya, 2004 dalam Dewi, 2010).
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa mengajar bukan upaya guru untuk menyampaikan bahan,tetapi bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Perubahan yang dimaksud dengan belajar adalah perubahan yang konstan, berbekas, dan menjadi milik siswa, maka dalam belajar siswa mengalami proses dan meningkatkan kemampuan mentalnya. Dengan demikian maka mengajar haruslah mengatur lingkungan agar terjadi pembelajaran yang baik. Mengajar bukan menanam pengetahuan, ini menyebabkan anak pasif. Berbeda halnya dengan istilah belajar mengajar yang sebelumnya sering digunkan. Proses belajar mengajar cenderung memisahkan kegiatan antara belajar dan mengajar.Guru mengajar dengan cara menyampaikan bahan di depan siswa, sedangkan siswa belajar dengan cara memperhatikan yang disampaikan oleh guru.
Uraian di atas memberikan batasan-batasan yang benar tentang pembelajaran. Dalam pembelajaran, guru bertugas mengatur lingkungan dan membimbing aktivitas anak. Jadi yang aktif adalah siswa, dan bukan sebaliknya. Mengajar berarti membimbing pengalaman anak. Pengalaman adalah proses dan hasil interaksi anak dengan lingkungan.Jadi interaksi dengan lingkungan itulah yang dinamakan belajar. Dari pengalaman, anak memperoleh pengertian-pengertian, sikap, penghargaan, kebiasaan, kecakapan, dan lain sebagainya. Lingkungan jauh lebih luas dibandingkan dengan buku dan kata-kata guru. Seluruh lingkungan anak adalah sumber belajar, untuk itu pelajaran hendaknya dihubungkan dengan kehidupan anak dalam lingkungannya.
Definisi pembelajaran yang disebutkan di atas sesuai dengan paham konstruktivisme. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan atau konstruksi kita sendiri (Von Glaserfeld, dalam Suparno, 1997). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Suparno (1997) pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme.
Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur konsep yang dibentuk. Menurutnya, pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang berlaku. Tetapi, menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya.
Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga dalam epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa pengetahuan kita peroleh dari adaptasi struktur kognitif kita terhadap lingkungan, seperti suatu organisme harus beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar melebihi gagasan Vico. Tidak jelas apakah Piaget juga dipengaruhi Vico.

Setelah itu muncullah beberapa ahli-ahli yang menyatakan dirinya sebagai penganut paham konstruktivis dan membuat berbagai jenis konstruktivisme. Ini mengakibatkan terdapat banyak ragam konstruktivisme. Ernest (dalam Lela, 2009) menyatakan ragam konstruktivisme sebanyak para penelitinya: “there are as many varieties of constructivism as there are researcher”. Pengertian konstruktivisme sulit dibakukan karena meliputi spektrum keyakinan yang luas tentang kognisi. Adanya perbedaan keyakinan tentang kognisi ini menjadikan perbedaan dalam epistemologi konstruktivisme. Dengan demikian, epistemologi konstruktivisme juga sulit dibakukan sehingga berdampak memungkinkan orang memperoleh interpretasi berbeda-beda bergantung pada siapa yang membaca dan epistemologi konstruktivisme yang mendasari penulisannya.

2. Beberapa Varians Konstruktivisme
Munculnya berbagai jenis konstruktivisme dari berbagai tokoh mengakibatkan perubahan makna konstruktivisme dari yang sebenarnya. Kenyataan ini membuat beberapa filsuf prihatin dan kemudian mengeluarkan beberapa teorinya. Menurut penulis ada empat varians konstruktivisme dari beberapa tokoh yang benar-benar memahami paham konstruktivisme. Keempat varians itu adalah konstruktivisme radikal, biologi kognitif, neurophysiologi, dan cybernetic. Dalam makalah ini akan dibahas dua diantaranya, yaitu konstruktivisme radikal dan biologi kognitif.

A. Konstruktivisme Radikal
Konstruktivisme radikal diperkenalkan oleh Ernst von Glasersfeld pada tahun 1960-an. Dia adalah seorang filsuf dan profesor emeritus dari psikologi di Universitas Georgia. Ernest lahir pada tahun 1917 di Munich. Konstruktivisme radikal muncul akibat keprihatinannya terhadap perkembangan paham konstruktivisme yang melenceng dari definisi konstruktivisme yang sebenarnya. Dalam konstruktivisme radikal dibahas mengenai keberadaan manusia menurut tataran filsafat. Penganut paham konstruktivisme radikal benar-benar menyadari bahwa manusia adalah self regulation mesin. Manusia merupakan mesin yang mampu meregulasinya dirinya sendiri tanpa harus ada campur tangan dari orang lain. Karena orang lain sama sekali tidak memiliki akses untuk menggerakkan segala unsur di dalam tubuhnya, termasuk otak manusia itu sendiri.
Konstruktivisme radikal mencakup tiga keyakinan dalam epistemologi konstruktivisme von Glasersfeld yaitu pengetahuan tidak dihimpun secara pasif, tetapi dihasilkan melalui kognisi aktif individu ; kognisi merupakan proses adaptif yang berfungsi membuat perilaku individu lebih sesuai pada suatu lingkungan tertentu yang diberikan ; dan mengorganisasi kognisi dapat membuat pengertian dari pengalaman seseorang, dan bukan suatu proses untuk menghasilkan representasi akurat dari kenyataan. Penerimaan terhadap ketiga keyakinan ini mengarah pada prinsip-prinsip yang berkaitan dengan sifat-sifat internal dari pengetahuan dan ide bahwa realitas eksternal ada, tetapi tidak diketahui oleh individu karena pengalaman seseorang terhadap bentuk-bentuk realitas eksternal memerlukan perantara indera, sedangkan indera tidak memberikan representasi akurat dari bentuk-bentuk realitas eksternal tersebut. Ernst von Glasersfeld dalam mengemukakan epistemologi konstruktivisme mengacu epistemologi genetik Piaget. Dia juga mengutip beberapa teori konstruktivisme yang dikemukakan oleh beberapa tokoh lain seperti Descart, George Berkly dan Vico. Pembelajaran beracuan konstruktivisme radikal memfokuskan pada siswa secara individu mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri.
Kaum konstruktivis radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang (Ernst von Glasersfeld, 1984 dalam Suparno, 1997) Konstruktivisme radikal berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk/dikonstruksi oleh pikiran kita. Bentukan itu harus “jalan” dan tidak harus selalu merupakan representasi dunia nyata (Ernst von Glasersfeld, 1984 dalam Dharsana, 2002).

Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan itu. Semua yang lain, entah objek maupun lingkungan hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut. Dalam pandangan konstruktivisme radikal, sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, yang mengatakan pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.
Konstruktivisme ini tidak pernah mengklaim objektivitas. Menurut mereka, kita tidak dapat melihat dunia pengalaman kita dari luar. Kita membentuknya dari dalam dan hidup dengannya lama sebelum kita mulai bertanya dari mana dan apa itu sebenarnya (von Glasersfeld, 1984 dalam Suparno, 1997)

B. Biologi Kognitif
Konstruktivisme biologi kognitif diperkenalkan oleh Humberto Maturana dalam bukunya yang berjudul Der Baum Des Erkenntniss (pohon pengetahuan). Humberto Maturana lahir pada tanggal 14 September 1928 di Santiago, Chile. Dia adalah seorang ilmuan biologi dan sekaligus seorang filsuf. Teori biologi kognitif ini muncul bersamaan dengan teori konstruktivisme radikal sekitar tahun 1960an. Dia telah mengembangkan teori autopoiesis, tentang kontrol otomatis yang dimiliki manusia dalam living systems. Dia bekerja di neuroscience di Universitas Chile , di pusat penelitian "BiologĂ­a del Conocer" (Biologi Pengetahuan).
Biologi kognitif sebagai varian konstruktivisme ini muncul hampir bersamaan dengan konstruktivisme radikal, keduanya muncul akibat keprihatinannya terhadap perkembangan paham konstruktivisme yang melenceng dari makna konstruktivisme yang sebenarnya. Dalam konstruktivisme biologi kognitif dibahas mengenai keberadaan manusia menurut tataran biologi. Humberto Maturana sebagai pelopor teori biologi kognitif melakukan eksperimennya sekitar tahun 1980an. Pada eksperimen yang dilakukannya, didapatkan hasil bahwa seluruh organ biologi manusia mampu bekerja sendiri tanpa harus diperintah, apalagi dikendalikan oleh orang lain atau alat dari luar tubuh kecuali memang organ tubuh manusia itu sudah tidak dapat berfungsi dengan baik lagi.
Oleh karena itu penganut paham biologi kognitif menyadari bahwa manusia adalah self regulation mesin, self reprensial. Manusia merupakan mesin yang mampu meregulasinya dirinya sendiri tanpa harus ada campur tangan dari orang lain. Karena orang lain sama sekali tidak memiliki akses untuk menggerakkan segala unsur di dalam tubuhnya, termasuk otak manusia itu sendiri. Sebagai contoh bahwa manusia adalah mesin yang mampu meregulasi dirinya dan memiliki alasan yang kuat untuk melakukan sesuatu adalah ketika bagian tubuh seorang manusia terluka. Tanpa diperintah oleh siapapun, bahkan oleh manusia itu sendiri, sistem dalam tubuhnya secara alami mampu menyembuhkan luka tersebut, sepanjang lukanya tidak terlalu parah. Di dalam darah manusia terdapat cairan yang disebut plasma yang didalamnya mengandung butir darah putih dan trombosit. Keduanya berperan penting dalam proses penyembuhan luka. Trombosit mengandung sebuah enzim yang bertugas membekukan darah. Enzim mengeluarkan benang-benang fibrin. Benang fibrin itu menyebabkan darah membeku karena berbentuk seperti jaring. Jaring itu bisa menangkap dan menghalangi sel darah merah keluar dari pembluh darah yang rusak. Dengan begitu, luka pun bisa sembuh dengan sendirinya.
Sistem tersebut terjadi secara otomatis (autopoiesis). Dan proses tersebut terjadi apabila seluruh organ tubuh dalam keadaan yang baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan mahluk hidup yang mampu meregulasi dirinya tanpa ada campur tangan dari orang lain. Oleh karena itu, paham konstruktivisme biologi kognitif menyadari betul bahwa siswa sebagai manusia mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, orang lain termasuk guru tidak punya akses untuk membentuk pengetahuan mereka.


3. Revitalisasi Pembelajaran Melalui Konstruktivisme Radikal dan Biologi Kognitif
Anggapan lama yang mengatakan bahwa anak itu tidak tahu apa-apa, sehingga pendidik harus mencekoki mereka dengan macam-macam hal, kiranya sudah tidak cocok lagi di massa sekarang ini. Pengajaran dengan cara indoktrinasi sehingga siswa hanya menerima tanpa boleh mengajukan pertanyaan secara kritis, akan menjadikan siswa yang pasif. Siswa menjadi tidak kreatif karena pengetahuan hanya ditransfer dan tidak melibatkan kegiatan dan penilaian dari siswa. Pendidik perlu menyadari bahwa anak, meski kecil, sudah punya suatu pemikiran pula dalam taraf mereka. Inilah yang perlu dibantu perkembangannya.
Dalam teori konstruktivisme dikatakan bahwa dalam proses belajar, siswalah yang harus mendapatkan tekanan, merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukanya guru ataupun orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa aktif ini dalam dunia pendidikan kiranya sangat penting dan perlu terus dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru saja.
Banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktik pendidikan mereka setelah mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme, bahkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diterapkan di Indonesia-pun tak luput dari pengaruh teori ini. Lahirnya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) telah mengubah paradigma baru dalam proses pembelajaran. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi merupakan bagian integral dalam sistem pembelajaran. Namun dengan alasan masih banyaknya kendala yang dihadapi dalam penerapannya, kebanyakan pembelajaran di Indonesia masih menggunakan cara lama.
Salah satu yang dianggap sebagai kendala dalam pelaksanaan konstruktivisme adalah bahwa situasi dan kondisi setiap sekolah tidak sama. Ada beberapa sekolah yang tidak mempunyai macam-macam sarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa. Selain itu dengan alasan tertentu, guru tidak bisa membentuk kelompok belajar dalam kelasnya. Hal itu dianggap sebagai kendala dalam menerapkan konstruktivisme di kelasnya. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika guru memahami paham kontruktivisme ini. Konstruktivisme radikal dan biologi kognitif sebagai varians dari konstruktivisme berpandangan bahwa penerima (siswa) sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan, siswa adalah manusia yang mampu meregulasi dirinya sendiri tanpa bantuan dari pihak luar. Objek maupun lingkungan hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut.
Dalam pandangan konstruktivisme radikal, sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, yang mengatakan pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.
Menurut penulis, yang kiranya perlu dikembangkan dalam pembelajaran kita adalah semakin dikembangkannya kesempatan bagi siswa sendiri untuk mengekspresikan apa yang mereka ketahui dan yang tidak mereka ketahui. Dengan mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, siswa akan dibantu untuk lebih berpikir dan merefleksikan pengetahuan mereka sendiri. Diskusi kelompok adalah salah satu cara saja, masih banyak cara yang dapat menantang siswa lebih berpikir dan membangun pengetahuan mereka seperti debat, menulis paper, membuat laporan penelitian, meneliti, mengungkapkan pertanyaan dan juga sanggahan terhadap yang diungkapkan guru, dan lain-lain.

4. Untuk Direfleksikan
Selama ini praktik pendidikan kita masih sibuk dengan UN, seragam, les tambahan, buku pelajaran, yang orientasinya hanya praktik penjejalan materi pelajaran dan hasil yang akan dicapai dengan mengabaikan proses berpikir dan pembentukan pengetahuan oleh siswa sendiri secara aktif. Sistem evaluasi dengan multiple choice tidak memungkinkan siswa mengungkapkan gagasan mereka sendiri dengan lebih leluasa. Tidak mengherankan bila hasil survei Unesco terhadap anak usia 15 tahun di 43 negara menempatkan Indonesia sebagai yang terendah bersama Albania dan Peru dalam hal basic skills yang meliputi kemampuan matematika, membaca, dan sains.
Kita tak perlu pongah dengan mengatakan bahwa ada anak-anak Indonesia yang berhasil menyabet kejuaraan dunia sejenis Olimpiade Matematika dan lain-lain, karena “anak unggul” semacam itu jumlahnya hanya satu dua di antara jutaan anak Indonesia lainnya. Justru lebih parah lagi apabila orientasi pendidikan tertuju hanya untuk meraih juara sambil menutup mata terhadap kenyataan yang ada secara umum.
Konstruktivisme, khususnya konstruktivisme radikal, bisa dijadikan alat refleksi kritis bagi para penyusun kurikulum, pengambil kebijakan, dan pendidik untuk melakukan revitalisasi sistem dan praktik pendidikan kita sehingga perubahan-perubahan yang ada bukan sekadar di permukaan, namun menukik ke “roh” pendidikan dan pembelajaran itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar