About Blog

Blog tentang matematika

09 November 2011

EKSPLORASI ETHNOMATEMATIKA PADA BUDAYA TUKANG BANGUNAN DAN KAITANNYA DALAM PEMBELAJARAN

Oleh
Gede Benny Kurniawan,
SMK Negeri 1 Singaraja


ABSTRAK

Ethnomatematika merupakan pola pikir matematika yang tumbuh dan berkembang di dalam kebudayaan tertentu. Melalui pola pikir matematis, kelompok kebudayaan tersebut mampu memahami dan mendapatkan solusi atas masalah yang ditemui dalam setiap aktivitasnya. Tukang bangunan merupakan salah satu kelompok kebudayaan yang menggunakan ilmu matematika dalam pekerjaan mereka sehari-hari, meskipun mereka tidak menyadari akan hal tersebut. Dari hasil pengamatan, didapatkan beberapa contoh ethnomatematika yang tumbuh dan berkembang pada budaya tukang bangunan di Bali yaitu : (1) penggunaan teorema Phytagoras dalam mebuat sudut siku-siku, (2) konsep lingkaran dalam mebmbuat pola yang berbentuk lingkaran, (3) penggunaan konsep diagonal persegipanjang dalam menentukan titik pusat, (4) penggunaan konsep geometri bidang, (5) penggunaan konsep gradien dan perbandingan dalam menentukan tinggi tugeh, dan (6) penggunaan konsep simetri lipat dan refleksi dalam membuat ornamen-ornamen bangunan. Tukang bangunan yang rata-rata tidak mempelajari matematika melalui jalur formal, mendapatkan konsep-konsep tersebut bukan dari matematika sekolahan. Mereka mendapatkannya dari pengalaman dan pergaulan dengan sesama rekan seprofesinya. Hal ini menunjukkan bahwa “isi” dan “semangat” matematika ada di mana-mana termasuk dalam suatu kelompok budaya tertentu seperti kelompok tukang bangunan. Pembelajaran matematika dapat mengambil manfaat dari ethnomatematika tersebut, terutama sebagai sumber belajar matematika. Selain untuk meningkatkan motivasi dan kepercayaan diri siswa dalam belajar, penggunaan budaya tersebut dalam pembelajaran juga dapat mengaitakan antara konsep-konsep matematika yang dipelajari dengan situasi dunia nyata siswa. Sehingga pembelajaran yang dilakukan siswa lebih bermakna.

Kata Kunci : Ethnomatematika, tukang bangunan

12 Agustus 2011

TUGAS KD 1 : SISTEM BILANGAN RIIL

TUGAS KD 1 : SISTEM BILANGAN RIIL
UNTUK KELAS X AKUNTANSI B, C, DAN D
SMK NEGERI 1 SINGARAJA TA 2011/2012

Pada tugas ini anda diposisikan sebagai seorang pebisnis, ceritanya anda akan membeli sejumlah barang, kemudian barang-barang itu anda akan pasarkan dengan harga tertentu. Ikuti langkah-langkah berikut!
1. Bentuk kelompok dengan anggota @5 orang
2. Kumpulkan kertas iklan yang berisi gambar barang beserta dengan harganya (bisa dari koran, majalah, brosur, dll)
3. Dari iklan-iklan tersebut, pilihlah 5 gambar barang (ceritanya anda membeli barang tersebut)
4. Rancang harga yang ditawarkan pada masing-masing barang tersebut
a. Untuk barang 1 ; barang tersebut dijual sehingga mendapat untung Rp10.000,00
b. Untuk barang 2 ; barang tersebut dijual sehingga mendapat untung 10% dari harga pembelian
c. Untuk barang 3 ; barang tersebut dijual sehingga mendapat untung antara 20% sampai dengan 40% dari harga pembelian
d. Untuk barang 4 ; barang tersebut dijual sehingga mendapat untung 30% dari harga pembelian, tetapi anda memberikan diskon pada pembeli sebesar 20%
e. Untuk barang 4 ; barang tersebut dijual sehingga mendapat untung antara 30% sampai dengan 40% dari harga pembelian, tetapi anda memberikan diskon pada pembeli sebesar 50%
5. Tugas ini boleh dikerjakan pada kertas doble folio atau diketik
6. Tugas dikumpulkan paling lambat tangga 27 Agustus 2011

GURU PENGAJAR : GEDE BENNY KURNIAWAN

05 Agustus 2011

MENGKONSTRUKSI TES ESSAY

Oleh: Gede Benny Kurniawan


PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Di dalam Permendiknas Nomor 20 Tahun 2007 tentang standar penilaian pendidikan dikatakan bahwa penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik (Permendiknas, 2007). Penilaian merupakan komponen penting dalam sistem pendidikan untuk mengetahui perkembangan dan tingkat pencapaian hasil pembelajaran. Penilaian memerlukan data yang baik. Salah satu sumber data itu adalah hasil pengukuran. Pengukuran merupakan seperangkat langkah dalam rangka pemberian nilai terhadap hasil kegiatan pembelajaran. Kegiatan pengukuran atau penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik (Permendiknas, 2007).
Menurut Idrakusumah (dalam Suherman, E, 1993), tes adalah suatu alat atau prosedur yang sistematika dan objektif untuk memperoleh data atau keterangan tentang seseorang, dengan cara yang boleh dikatakan cepat dan tepat. Tes, sebagai alat ukur, perlu dirancang secara khusus sesuai dengan tujuan peruntukannya, dan perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya, sesuai dengan kaidah-kaidah penyusunannya. Tes yang digunakan untuk mengukur prestasi belajar harus benar-benar didesain sesuai dengan kegunaannya. Tes yang digunakan untuk penentuan penempatan siswa dalam suatu jenjang atau jenis pendidikan tertentu akan berbeda dengan desain tes formatif yang digunakan untuk mencari umpan balik guna memperbaiki proses pembelajaran, baik bagi guru maupun bagi siswa.
Penggunaan bentuk tes tertulis, sangat tergantung pada perilaku / kompetensi yang akan diukur. Ada kompetensi yang lebih tepat diukur / ditanyakan dengan mempergunakan tes tertulis dalam bentuk tes objektif. Ada pula kompetensi yang lebih tepat diukur dengan mempergunakan tes essay atau uraian. Jenis tes objektif memang baik dan efektif jika digunakan untuk mengukur kemampuan siswa dalam tingkat pengetahuan, pemahaman, aplikasi dan analisis. Akan tetapi tes objektif tidak tepat digunakan untuk mengukur kemampun siswa dalam tingkat sintesis dan evaluasi.
Untuk mengukur kemampuan siswa dalam tingkat sintesis dan evaluasi, diperlukan jenis tes lain yaitu tes essay. Tes essay sangat baik digunakan untuk menarik hubungan antara pengetahuan atau fakta-fakta yang telah mengendap dalam struktur kognitif siswa dengan pengertian materi yang sedang dipikirkannya (Suherman, E, 1993). Tetapi tes ini tidak akan efektif jika dalam penyusunan dan pengkoreksiannya tidak sesuai dengan aturan-aturannya. Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis menyusun makalah yang berjudul “Mengkonstruksi Tes Essay” guna mengkaji hal-hal yang berkaitan dengan tes essay.

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut.
1. Apa yang dimaksud dengan tes essay?
2. Bagaimanakah kelebihan dan kelemahan tes essay?
3. Apa saja jenis-jenis tes essay?
4. Bagaimanakah jenis pertanyaan dalam tes essay?
5. Bagaimanakah aturan mengkonstruksi pertanyaan dalam tes essay?
6. Bagaimanakah upaya untuk meningkatkan objektivitas dalam tes essay?

1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan yang dicapai dalam penulisan makalah ini yang sejalan dengan rumusan masalah di atas adalah untuk:
1. mengetahui pengertian tes essay.
2. mengetahui kelebihan dan kelemahan tes essay.
3. mengetahui jenis-jenis tes essay.
4. mengetahui jenis pertanyaan dalam es essay.
5. mengetahui aturan mengkonstruksi pertanyaan dalam tes essay.
6. mengetahui upaya untuk meningkatkan objektivitas dalam tes essay.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan makalah ini adalah:
1. Bagi penulis,
melalui makalah ini penulis berharap mampu memperluas wawasan tentang hakikat dan cara pengkonstruksian tes essay dalam rangka melakukan evaluasi di kelas
2. Bagi pembaca dan rekan-rekan mahasiswa,
melalui makalah ini diharapkan mampu memberikan informasi yang jelas tentang karakteristik, pengkonstruksian, dan cara penskoran tes essay dalam rangka meningkatkan profesionalisme sebagai guru.


PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Tes Essay
Secara ontologis tes essay adalah salah satu bentuk tes tertulis, yang susunannya terdiri atas item-item pertanyaan yang masing-masing mengandung permasalahan dan menuntut jawaban siswa melalui uraian-uraian kata yang merefleksikan kemampuan berpikir siswa (Sukardi, 2008). Menurut Suherman (1993) tes essay adalah tes yang menuntut siswa untuk dapat menyusun dan memadukan gagasan-gagasan tentang hal-hal yang telah dipelajarinya, dengan cara mengekspresikan atau mengemukakan gagasan tersebut secara tertulis dengan kata-kata sendiri.
Senada dengan itu, menurut Oemar Hamalik (2001) tes essay adalah salah satu bentuk tes yang terdiri dari satu atau beberapa pertanyaan essay, yakni pertanyaan yang menuntut jawaban tertentu oleh siswa secara individu berdasarkan pendapatnya sendiri. Setiap siswa memiliki kesempatan memberikan jawabannya sendiri yang berbeda dengan jawaban siswa lainnya.
Tes essay juga dapat disebut sebagai tes dengan menggunakan pertanyaan terbuka, dimana dalam tes tersebut siswa diharuskan menjawab sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Selain itu, menurut Suherman, E (1993) tes essay juga sering disebut sebagai tes uraian karena untuk menjawab soal siswa dituntut untuk menyusun jawaban secara terurai. Jawaban tidak cukup hanya dengan satu atau dua kata saja, tetapi memerlukan uraian yang lengkap dan jelas. Selain harus menguasai materi tes, siswa dituntut untuk bisa mengungkapkannya dalam bahasa tulisan dengan baik.
Tes essay yang biasa dipakai di sekolah mempunyai arti yang luas, yaitu tidak hanya mengukur kemampuan siswa dalam menyajikan pendapat pribadi, melainkan juga menuntut kemampuan siswa dalam hal menyelesaikan hitungan, menganalisis masalah, dan mengekspresikan pendapat.



2.2 Kelebihan dan Kelemahan Tes Essay
Dalam pembelajaran di kelas, tes essay masih banyak digunakan oleh para guru, karena tes essay memiliki beberapa kelebihan. Menurut Sukardi, H.M (2009) tes essay dapat digunakan untuk menilai hal-hal berkaitan erat dengan beberapa butir berikut.
a. Mengukur proses mental para siswa dalam menuangkan ide ke dalam jawaban item secara tepat.
b. Mengukur kemampuan siswa dalam menjawab melalui kata dan bahasa mereka sendiri.
c. Mendorong siswa untuk mempelajari, menyusun, merangkai, dan menyatakan pemikiran siswa secara aktif.
d. Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusun dalam bentuk kalimat mereka sendiri.
e. Mengetahui seberapa jauh siswa telah memahami dan mendalami suatu permasalahan atas dasar pengetahuan yang diajarkan di dalam kelas.
Gronlund, N.E (1982) menyatakan bahwa karakteristik yang paling menonjol dari tes essay adalah kebebasan respon yang diberikan oleh para siswa. Karakteristik ini menjadi sebuah kelebihan dari tes essay. Pertanyaan dalam tes essay ini mengharuskan siswa untuk memproduksi jawaban mereka sendiri. Mereka relatif bebas untuk memutuskan bagaimana mendekati masalah, informasi faktual apa yang digunakan, bagaimana mengatur jawaban, dan apa penekanan yang diberikan pada setiap aspek jawabannya. Dengan demikian, tes essay dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk memproduksi, mengintegrasikan, dan mengekspresikan ide-ide. Menurut Azhar, L.M (1991) salah satu kelebihan atau keuntungan tes essay yang lain adalah mencegah siswa menjawab secara menebak serta relatif lebih mudah dan lebih cepat dibuat dibandingkan dengan tes objektif.
Di samping beberapa kelebihan seperti yang telah diuraikan di atas, ternyata tes essay juga memiliki beberapa kelemahan yang perlu diperhatikan oleh seorang guru. Menurut Suherman, E (1993) kelemahan tes essay di antaranya sebagai berikut.
a. Ruang lingkup yang disajikan dalam bentuk tes essay kurang menyeluruh. Hal ini disebabkan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan setiap butir soal cukup banyak, sehingga jumlah butir soal yang disajikan sedikit. Pada tes essay ini, jika siswa kebetulan mempelajari materi yang secara kebetulan sesuai dengan butir soal yang disajikan, ia dapat dengan mudah menyelesaikannya. Sebaliknya jika siswa tidak mempelajari dengan baik materi yang tersaji dalam soal itu biasanya mendapat hasil yang kurang baik.
b. Sesuai dengan namanya, soal tipe subjektif ini dalam pemeriksaan dan pemberian nilai akhir seringkali dipengaruhi faktor subjektivitas dari pemeriksa atau pemberi nilai, sehingga nilai akhir yang diterima siswa ada kemungkinan bias, kurang mencerminkan kemampuan sebenarnya. Faktor subjektivitas itu sebagai akibat pengaruh kondisi pemeriksa, siswa dan lingkungan.
c. Pemeriksaan jawaban pada tes essay ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, tetapi harus diperiksa oleh orang yang benar-benar ahli dalam bidangnya. Bila pemeriksa kurang mengetahui pokok persoalan yang diujikan, akan mengakibatkan hasil pemeriksaan yang dapat merugikan siswa. Demikian pula jika pemeriksa kurang memiliki pengetahuan luas mengenai cara penyelesaian suatu soal, mungkin langkah-langkah penyelesaian suatu soal tidak sama dengan kunci jawaban akan dianggap salah, padahal pekerjaan itu benar.
d. Memeriksa jawaban tes essay cukup rumit sehingga memerlukan waktu yang cukup banyak. Pola jawaban siswa untuk soal bentuk ini bisa beraneka ragam, karena siswa diberi kebebasan untuk mengeluarkan pendapatnya sendiri. Pengetahuan yang telah diperoleh dan dikuasainya akan diutarakan sesuai dengan relevansi pada jawaban persoalan yang ditanyakan. Tiap siswa tentu akan memberikan uraian yang berlainan dan bermacam-macam, apalagi jika persoalannya divergen. Meskipun demikian dalam matematika keanekaragaman ini tidak akan jauh berbeda karena sifatnya eksak, lain halnya dengan ilmu-ilmu sosial lainnya. Karena keanekaragaman itu, baik cara penyelesaian maupun alur pikiran yang terdapat di dalamnya, maka pemeriksaaan akan memerlukan banyak waktu dan melelahkan.
Kelemahan-kelemahan menurut Suherman, E (1993) di atas hampir sama dengan apa yang dinyatakan oleh Gronlund, N.E (1982). Selain kelemahan tersebut, Gronlund, N.E (1982) juga menyatakan bahwa kelemahan tes essay ini berkaitan dengan respon siswa. Karena siswa harus menulis jawaban dengan kata-kata sendiri, maka kemampuan menulis cenderung untuk mempengaruhi skor yang mereka terima. Miskin ekspresi dan kesalahan dalam menggunakan tanda baca, ejaan, dan tata bahasa biasanya mengurangi skor yang didapatkan.
Untuk lebih memahami karakteristik serta kelebihan dan kelemahan dari tes essay, berikut disajikan perbedaan antara tes objektif dan tes essay

Tabel 2.1 Perbedaan tes objektif dan tes essay
Tes Objektif Tes Essay
Tingkatan kemampuan hasil belajar yang diukur Baik digunakan untuk mengukur kemampuan pada tingkatan pengetahuan, pemahaman, aplikasi dan analisis. Tetapi tidak cocok digunakan untuk mengukur kemapuan pada tingkat sintesis dan evaluasi
Tidak efektif digunakan untuk mengukur kemampuan pada tingkatan pengetahuan, pemahaman, aplikasi dan analisis. Tetapi baik jika digunakan untuk mengukur kemapuan pada tingkat sintesis dan evaluasi
Ruang lingkup materi yang disajikan Terdiri dari banyak item soal dan mencakup materi yang cukup luas sehingga tes tersebut dapat mewakili isi dari materi yang dipelajari Terdiri dari sedikit item soal dalam jangkauan materi yang terbatas sehingga tes tersebut tidak representatif dalam mewakili isi materi

Penyusunan tes Untuk mempersiapkan tes yang baik, diperlukan waktu yang cukup lama Untuk mempersiapkan tes yang baik, diperlukan waktu yang lebih cepat dan lebih mudah dibandingan dengan tes objektif

Penskoran Objektif, sederhana dan dapat diandalkan Subjektif, sulit, dan kurang dapat diandalkan

Faktor-faktor yang mempengaruhi skor yang diperoleh
Kemampuan membaca dan menebak-nebak Kemampuan menulis dan memberikan penekanan dan jawaban
Kemungkinan efek yang ditimbulkan terhadap cara belajar siswa Mendorong siswa untuk mengingat, menginterpretasikan dan menganalisis ide-ide orang lain. Mendorong siswa untuk mengatur, mengintegrasikan, dan mengekspresikan ide mereka sendiri
2.3 Jenis-Jenis Tes Essay
Menurut Suherman, E (1993), ditinjau dari cara menyajikan soal, tes essay dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
1. Tes essay (uraian) berstruktur
Tes essay bentuk ini disajikan secara terinci menjadi sub-sub masalah yang sifatnya saling menunjang. Soal, biasanya disusun dari hal yang elementer menuju pada hal yang sifatnya lebih kompleks.
Contoh:
Diketahui fungsi f dengan rumus fungsi
f(x) = 2x2 + 11x – 21
Tentukan :
a. Syarat agar fungsi memotong sumbu X
b. Titik potong dengan sumbu X
c. Syarat agar fungsi memotong sumbu Y
d. Titik potong dengan sumbu Y
e. Persamaan sumbu simetrinya
f. Titik balik fungsi
g. Gambar sketsa grafiknya

2. Tes essay (uraian) bebas
Tes essay bentuk ini disajikan secara global, tidak terinci. Dalam menjawabnya siswa diperbolehkan mengerjakan bagian jawaban soal itu secara bebas, asal masalah yang ditanyakan dapat dijawab secara benar. Soal yang hanya terdiri dari satu masalah bisa tergolong pada Tes essay bentuk bebas
Contoh:
Gambar sketsa grafik fungsi f dengan rumus fungsi
f(x) = 2x2 + 11x – 21

Pada soal tersebut, siswa bisa mengerjakannya secara langsung dengan menggunakan percobaan titik-titik sampel atau dengan cara-cara yang lain.

Ditinjau dari pola jawaban siswa dan cara pemberian skor untuk setiap langkah jawaban itu, tes essay (uraian) dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu:
1. Bentuk Uraian Objektif (BUO)
Bentuk uraian objektif adalah tes essay yang memiliki sekumpulan jawaban dengan rumusan yang pasti sehingga dapat dilakukan penskoran secara objektif. Ini berarti walaupun pemeriksanya berlainan dapat menghasilkan skor yang sama. Untuk tes bentuk ini dapat dibuatkan kunci jawaban dan pedoman penskorannya. Dengan kunci dan pedoman ini, jawaban siswa yang bervariasi tetap dapat diperiksa oleh orang yang berbeda tetapi skor yang diperoleh tidak berbeda. Cara pemberian skor untuk soal bentuk BUO ini adalah bersifat dikotomi, yaitu jika jawaban siswa benar diberi skor 1 sedangkan jika salah diberi skor 0.
2. Bentuk Uraian Non Objektif (BUNO)
Bentuk uraian non objektif adalah tes essay yang menuntut siswa untuk memberikan jawaban berdasarkan pendapat, pikiran, atau pandangan pribadinya. Untuk soal bentuk ini, kunci jawaban bersifat relatif karena kemungkinan jawaban yang diberikan siswa bisa bervariasi, malahan bisa juga muncul jawaban yang tidak diduga sebelumnya oleh pembuat soal (guru). Dalam pemeriksaan dan pemberian skor terhadap jawaban siswa cenderung dipengaruhi oleh pertimbangn, situasi, kondisi, lingkungan dan pengalaman pemeriksa. Dengan demikian unsur subjektivitasnya bisa dominan, sehingga kurang objektif.
Untuk soal jenis ini skor dijabarkan dalam skala rentangan. Makin baik jawaban siswa, makin tinggi pula skor yang diperoleh. Sebaliknya, semakin kurang bemutu, makin rendah pula skor yang diberikan. Besarnya rentangan itu ditetapkan oleh guru, misalnya 1 – 5, 1 – 10, 0 – 4. Kualitas jawaban siswa biasanya diperhitungkan dari banyaknya kata kunci yang dijawab dengan benar, sistematika jawaban, dan pengertian logis dari jawaban itu.




2.4 Jenis-jenis Pertanyaan dalam Tes Essay
Kebebasan respon yang dihasilkan dari pertanyaan essay adalah bervariasi. Siswa mungkin diminta untuk memberikan respon yang singkat dan tepat, atau mereka mungkin diberikan kebebasan yang lebih luas dalam menentukan bentuk dan ruang lingkup jawaban mereka. Terkait dengan kebebasan respon di atas, menurut Gronlund, N.E (1982) pertanyaan essay dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu
1. Pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban terbatas (restricted-response questions)
Pertanyaan dengan jawaban terbatas memiliki kedudukan yang terbatas pada jawaban yang diberikan. Batas-batas subjek yang harus dipertimbangkan biasanya didefinisikan secara sempit dalam masalah dan jawabannya spesifik yang ditunjukkan dengan kata-kata seperti “daftarkan”, “definisikan”, dan “berikan alasan”. Dalam beberapa kasus, lebih lanjut jawaban dibatasi dengan menggunakan kata pengantar atau dengan menggunakan arah khusus:
Contoh:
Menjelaskan manfaat relatif dari item tes objektif dan pertanyaan essay untuk mengukur hasil pembelajaran pada tingkat pemahaman. Batasi jawaban Anda pada satu halaman.
Membatasi bentuk dan ruang lingkup dari jawaban-jawaban pertanyaan essay memiliki kelebihan dan kekurangan. Pertanyaan seperti itu dapat dibuat lebih mudah, lebih terkait langsung dengan hasil pembelajaran yang spesifik, dan menskor lebih mudah. Di sisi lain, pertanyaan essay memberikan kesempatan bagi siswa untuk menunjukkan kemampuan mereka dalam mengatur, mengintegrasikan, dan mengembangkan pola-pola jawaban baru. Pembatasan yang ditetapkan dalam membuat item dengan jawaban terbatas sangat berguna untuk mengukur hasil pembelajaran pada tingkat pemahaman, aplikasi, dan analisis dalam pembelajaran. Pertanyaan dengan jawaban terbatas kurang relatif untuk mengukur hasil pembelajaran pada tingkat sintesis dan evaluasi.
2. Pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban terbuka (extended-response questions)
Pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban terbuka (extended-response questions) digunakan untuk mengukur hasil pembelajaran pada tingkat sintesis dan evaluasi. Pertanyaan ini memberikan kebebasan kepada siswa yang hampir tak terbatas untuk menentukan bentuk dan ruang lingkup jawaban mereka. Meskipun masih terdapat beberapa batasan-batasan, seperti batasan waktu atau batasan halaman, batasan pada bahan-bahan materi yang termasuk dalam jawaban dan bentuk jawaban dapat diminimumkan. Siswa harus diberikan kebebasan yang cukup untuk menunjukkan kemampuan sintesis dan evaluasi, dan cukup dikontrol untuk memastikan bahwa keahlian dan kemampuan intelektual akan dipanggil keluar oleh pertanyaan itu. Dengan demikian jumlah struktur akan bervariasi dari item ke item, yang bergantung pada hasil pembelajaran yang diukur.
Pertanyaan dengan jawaban terbuka (exended-response question) menyediakan ide-ide kreatif yang terintegrasi, mengevaluasi secara keseluruhan materials, dan merupakan pendekatan pemecahan masalah (problem solving). Itu semua merupakan hasil belajar yang penting, dan tidak dapat diukur dengan jenis item-item tes lainnya oleh orang lain. Secara umum, tentu saja mengevaluasi jawaban-jawaban dengan cukup handal untuk menyediakan manfaat dalam mengukur hasil pembelajaran. Hal ini tentu sangat sulit untuk dilakukan dan merupakan tugas time-consuming, namun pentingnya hasil nampaknya memerlukan pembenaran dari additional care dan effort.

2.5 Aturan Mengkonstruksi Pertanyaan dalam Tes Essay
Menurut Gronlund, N.E (1982), aturan mengkonstruksi pertanyaan dalam tes essay sehingga menghasilkan soal essay dengan kualitas yang tinggi adalah sebagai berikut.
1. Gunakan pertanyaan essay sebagai alat ukur hasil belajar yang kompleks.
Sebagian besar pemerolehan hasil belajar diukur dengan menggunakan pertanyaan essay. Hasil-hasil tersebut biasanya dapat diukur secara efektif dengan item objektif, yang masalahnya disampling dan diskor melalui pertanyaan essay. Hal itu mungkin terdapat pengecualian, seperti ketika menyediakan jawaban sebagai hasil belajar, namun untuk mengukur prestasi belajar pertanyaan essay hendaknya dapat diukur kehandalannya (reliable) tanpa adanya compensating benefits.
Pada tingkat pemahaman, aplikasi, dan analisis dalam pembelajaran, tes objektif maupun tes essay masih tetap digunakan. Meskipun tes objektif memiliki prioritas, tes essay juga memiliki prioritas dimana menuntut siswa untuk memberikan alasan, menjelaskan hubungan, mendeskripsikan data, merumuskan kesimpulan, atau memberikan langkah-langkah jawaban yang tepat. Dimana memberikan jawaban merupakan hal yang sangat penting, oleh karena itu pertanyaan restricted-response dikonstruksi dengan benar sehingga menghasilkan pertanyaan yang tepat.
Pada tingkat sintesis dan evaluasi dalam pembelajaran, tes objektif maupun tes restricted-response memiliki nilai batas. Tes-tes ini dapat digunakan untuk mengukur beberapa aspek tertentu dari proses total dalam pembelajaran, namun menghasilkan karya yang lengkap (seperti rencana dalam operasi) atau evaluasi keseluruhan suatu karya (misalnya, evaluasi dari sebuah novel maupun dari suatu eksperimen) memerlukan penggunaan pertanyaan extended-response.
2. Hubungkan pertanyaan-pertanyaan langsung yang berhubungan dengan hasil belajar yang diukur.
Pertanyaan essay tidak dapat mengukur hasil belajar secara kompleks kecuali jika pertanyaan essay telah dikonstruksi secara hati-hati untuk hal itu. Setiap pertanyaan sebaiknya dirancang secara spesifik untuk mengukur satu atau lebih hasil yang didefinisikan dengan baik (well-difined). Dengan demikian, tempat untuk memulai, sama halnya seperti pada item objektif, yaitu dengan deskripsi yang tepat performance yang diukur. Hal ini sangat berguna untuk membantu menentukan isi maupun bentuk dari item dan membantu dalam pembentukan suku kata (phrasing) dalam pertanyaan itu.
Item restricted-response dihubungkan dengan hasil belajar yang spesifik karena hal tersebut terstruktur dengan baik. Tanggapan dari beberapa siswa juga sangat diperlukan guna memungkinkan pengambilan suku kata (phrase) dalam pertanyaan sehingga maksudnya dapat dipahami dengan jelas oleh siswa. Item extended-response, memerlukan kebebasan yang lebih besar dari respon dan biasanya melibatkan sejumlah hasil pembelajaran. Hal ini membuat lebih sulit untuk menghubungkan pertanyaan dengan hasil yang diharapkan dan menyatakan inti dari jawaban yang diinginkan melalui ungkapan pertanyaan. Jika tugas yang sulit diberikan dalam pertanyaan, maka kebebasan siswa untuk memilih, mengatur, dan menjawab pertanyaan cenderung tidak dihiraukan oleh mereka. Salah satu alternatif solusi yang dapat dilakukan adalah dengan menunjukkan kepada siswa kriteria yang akan digunakan dalam mengevaluasi jawabannya. Sebagai contoh, pernyataan seperti: “jawaban Anda akan dievaluasi dalam hal kelengkapan jawabannya, relevansi dari argumennya, kesesuaian dengan contoh, dan keterampilan yang digunakan”. Hal ini menjelaskan tugas yang diberikan kepada siswa tanpa membatasi kebebasan mereka, dan membuat item lebih mudah berhubungan dengan hasil belajar yang didefinisikan secara jelas.
3. Rumuskan pertanyaan yang menyajikan tugas yang jelas untuk dilakukan.
Ungkapan sebuah pertanyaan essay sehingga diperoleh respon yang diinginkan bukanlah hal yang mudah. Memilih kalimat yang tepat dan hati-hati dan mengulang pertanyaan dengan respon yang diinginkan dalam pikiran akan membantu memperjelas tugas siswa. Karena pertanyaan essay ini digunakan untuk mengukur hasil belajar yang kompleks, maka sebaiknya menghindari pertanyaan yang diawali dengan kata-kata seperti: ”siapa”, “apa”, “kapan”, “dimana”, “nama”, dan “daftar”. Istilah-istilah ini cenderung untuk membatasi respon pada hasil pengetahuan. Pertanyaan essay yang digunakan untuk mengukur hasil belajar yang kompleks ditandai dengan penggunaan kata-kata seperti: “mengapa”, “gambarkan”, “jelaskan”, “bandingkan”, “hubungkan”, “bedakan”, tafsirkan”, analisa”, “kritik”, dan “evaluasi”. Istilah-istilah khusus yang digunakan tentu saja sebagian besar ditentukan oleh perilaku spesifik yang dijelaskan dalam hasil belajar yang diukur.
Tidak ada cara yang lebih baik untuk memeriksa ungkapan sebuah pertanyaan essay daripada membuat model jawaban, atau setidaknya merumuskan jawaban dari suatu pertanyaan. Hal ini akan membantu pembuat tes untuk mendeteksi ambiguitas dalam pertanyaan, membantu dalam memperkirakan waktu yang dibutuhkan oleh siswa untuk mengembangkan jawaban yang memuaskan, dan memberikan garis-garis besar pada proses mental yang diperlukan. Prosedur ini dapat dikerjakan dengan mudah dalam item restricted-response, jawaban yang lebih terbatas dan lebih mudah dipahami. Dengan bentuk extended-response memungkinkan memerlukan satu atau lebih rekan untuk membaca bentuk dan ruang lingkup jawaban dari pertanyaan yang diberikan.
4. Hindari penggunaan pertanyaan pilihan kecuali pertanyaan hasil belajar yang memerlukan itu.
Dalam tes prestasi belajar, yang terbaik adalah semua siswa manjawab pertanyaan yang sama. Jika mereka dibolehkan untuk menjawab hanya sebagian dari pertanyaan-pertanyaan itu, hingga tiga perlimanya, maka jawaban mereka tidak dapat dievaluasi secara komparatif. Demikian juga, karena siswa akan cenderung memilih pertanyaan-pertanyaan mereka yang paling siap untuk dijawab, tanggapan mereka atas pertanyaan yang diberikan menunjukkan sampel dari prestasi mereka bahwa kurang representatif terhadap pertanyaan opsional yang diperoleh. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, salah satu keterbatasan dari tes essay adalah menyediakan sampling yang terbatas dan tidak representasional. Memberikan siswa pertanyaan pilihan hanya mempersulit masalah sampling lebih lanjut dan menghasilkan penyimpangan (distortion) yang lebih besar dalam hasil tes.
Dalam beberapa situasi penggunaan pertanyaan opsional mungkin masih dapat dipertahankan. Sebagai contoh, jika pertanyaan essay digunakan untuk mengukur keterampilan menulis saja, maka beberapa pilihan topik untuk ditulis mungkin diperlukan sekali. Hal ini juga terjadi jika pertanyaan essay digunakan untuk mengukur beberapa aspek dari kreativitas, atau jika siswa telah mempunyai kepentingan individual melalui studi independen. Kemampuan untuk mengatur, mengintegrasikan, dan mengekpresikan ide-ide ditentukan dengan melibatkan kompleksitas isi.
5. Sediakan waktu yang cukup untuk menjawab dan memberikan batas waktu pada setiap pertanyaan.
Karena pertanyaan essay paling sering dirancang untuk mengukur keterampilan dan kemampuan intelektual, maka diperlukan waktu untuk berpikir maupun menulis. Dengan demikian batas waktu yang cukup tentu diperlukan. Sebagai contoh, daripada mengharapkan beberapa orang siswa untuk menjawab pertanyaan essay selama satu periode kelas, lebih baik siswa difokuskan pada satu atau dua pertanyaan saja. Hal itu nampaknya menyebabkan kecenderungan bagi guru untuk memberikan pertanyaan-pertanyaan begitu banyak dalam tes essay tunggal bahwa skor tertinggi adalah mengukur dari kecepatan menulis yang menunjukkan prestasi siswa. Ini mungkin merupakan suatu usaha untuk mengatasi masalah pengambilan sampel secara terbatas, namun hal ini cenderung menjadi solusi yang tidak diinginkan. Dalam mengukur prestasi belajar yang kompleks, tampaknya lebih baik untuk menggunakan pertanyaan yang lebih sedikit dan meningkatkan sampel dengan pengujian yang lebih sering.
Menginformasikan kepada siswa mengenai banyaknya waktu yang diperlukan untuk menjawab setiap pertanyaan akan membantu mereka dalam menggunakan waktu yang diberikan secara lebih efisien, secara ideal, dan juga akan memberikan sampel yang lebih memadai terhadap prestasi mereka. Jika panjang jawabannya tidak didefinisikan dengan jelas dari pertanyaan yang diberikan, seperti pada pertanyaan extended-response, mungkin diperlukan juga informasi mengenai batas halamannya.
Sementara menurut Sukardi, H.M (2009), untuk meningkatkan mutu pertanyaan essay sebagai alat pengukur hasil belajar yang kompleks, memerlukan dua hal penting yang perlu diperhatikan oleh para evaluator. Kedua hal tersebut yaitu (1) bagaimana mengkonstruksi pertanyaan essay yang mengukur perilaku yang direncencanakan, dan (2) bagaimana menskor jawaban yang diperoleh dari siswa. Untuk mengkonstruksi pertanyaan essay dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti berikut.
1. Para guru hendaknya memfokuskan pertanyaan essay pada materi pembelajaran yang tidak dapat diungkap dengan bentuk tes lain misalnya tes objektif. Ada beberapa faktor penting dalam kegiatan pembelajaran yang hanya bisa diungkap oleh tes essay, antara lain: pembelajaran yang kompleks, organisasi materi, integrasi penyusunan jawaban, dan ekspresi penuangan ide dari pemikiran siswa ke dalam bentuk jawaban soal. Hal ini menjadikan tes essay tetap menjadi pilihan para guru atau para evaluator.
2. Para guru hendaknya memformulasikan item pertanyaan yang mengungkap perilaku spesifik yang diperoleh dari pengalaman hasil belajar. Tes yang direncanakan oleh guru, baik tes objektif maupun tes essay perlu tetap mengukur penilaian tujuan instruksional. Pertanyaan yang tidak mengarah pada tujuan instruksional sebaiknya dikesampingkan lebih dahulu.
3. Item-item pertanyaan tes essay sebaiknya jelas dan tidak menimbulkan kebingungan (tidak mengandung makna ambigu) sehingga para siswa dapat menjawab dengan tidak ragu-ragu. Menggunakan kata-kata yang spesifik, seperti terangkan, bandingkan, buktikan, nyatakan dalam kesimpulan, gunakan dan sebagainya.
4. Sertakan petunjuk waktu pengerjaan untuk setiap pertanyaan, agar para siswa dapat memperhitungkan kecepatan berpikir, menulis dan menuangkan ide sesuai dengan waktu yang disediakan. Pertimbangan waktu tersebut hendaknya didasarkan pada tingkat kesulitan setiap pertanyaan.
5. Ketika mengkonstruksi sejumlah pertanyaan essay, para guru hendaknya menghindari menggunakan pertanyaan pilihan. Pertanyaan pilihan biasanya terletak pada kalimat instruksi pengerjaan pada awal tes, misalnya “pilih empat soal dari lima pertanyaan yang tersedia”. Penggunaan pertanyaan pilihan dimungkinkan mempengaruhi reliabilitas tes essay yang direncanakan.

2.6 Upaya Meningkatkan Objektivitas Penilaian dalam Tes Essay
Menurut Gronlund, N. E (1982), terdapat beberapa upaya untuk meminimalkan subjektivitas penilaian dan memberikan keseragaman standar penilaian dari siswa yang satu ke siswa yang lainnya, yaitu sebagai berikut.
1. Evaluasi jawaban-jawaban soal essay dalam hubungannya dengan hasil belajar yang sedang diukur.
Tes essay, seperti halnya tes objektif, digunakan untuk memperoleh bukti yang jelas mengenai sejauh mana hasil pembelajaran telah tercapai. Dengan demikian, kinerja siswa yang diinginkan dalam hasil pembelajaran harus sesuai dengan panduan baik dalam mengkontruksi pertanyaan maupun mengevaluasi jawaban. Jika suatu pertanyaan dirancang untuk mengukur “kemampuan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat”, misalnya jawabannya harus dievaluasi dalam hal bagaimana siswa dapat menjelaskan hubungan sebab-akibat tertentu yang disajikan dalam pertanyaan, maka semua faktor-faktor lain, seperti informasi faktual yang menarik tapi asing, gaya menulis, dan kesalahan dalam mengeja dan tata bahasa, harus diabaikan (sejauh mungkin) selama evaluasi. Dalam beberapa kasus, untuk kemampuan mengeja maupun menulis mungkin memberi skor-skor yang terpisah, tetapi hal ini seharusnya tidak diperbolehkan karena dapat mencemarkan (contaminate) skor yang mewakili pencapaian tingkat prestasi dari hasil pembelajaran yang dimaksudkan.
2. Untuk soal-soal essay dengan jawaban terbatas (restricted-response questions), berilah skor dengan metode point (point method), gunakan suatu model jawaban (pedoman jawaban) sebagai petunjuk.
Menskor dengan bantuan kunci jawaban yang sebelumnya disiapkan adalah mungkin dengan item restricted-response karena keterbatasan pada jawabannya. Prosedur ini melibatkan penulisan suatu model jawaban untuk setiap pertanyaan dan menentukan jumlah point-point yang akan diperlukan untuk itu dan untuk bagian-bagian di dalamnya. Distribusi point-point dalam jawaban tentu saja harus mempertimbangkan semua unit scorable yang ditandai dalam hasil pembelajaran yang diukur. Misalnya, point-point dapat diberikan pada relevansi contoh yang digunakan dan struktur jawabannya, serta isi dari jawaban: jika hal ini merupakan aspek yang sah dalam hasil belajar.
3. Untuk soal-soal essay dengan jawaban terbuka (extended-response questions), skorlah dengan rating method, gunakan kriteria tertentu sebagai pedoman penskoran.
Item-item extended-response menuntut jawaban yang terbuka dan bebas sehingga sering kali tidak mungkin untuk menyiapkan pedoman jawabannya. Oleh karena itu, biasanya guru atau pembuat tes itu menilai tiap jawaban dengan menimbang-nimbang kualitasnya dalam hubungannya dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, jadi bukan menskor point demi point dengan kunci jawaban. Kriteria untuk menilai kualitas dari suatu jawaban ditentukan oleh sifat pertanyaan dan demikian juga oleh hasil pembelajaran yang diukur. Jika para siswa diminta untuk “menjelaskan rencana lengkap dari tes prestasi belajar”, misalnya kriteria akan mencakup hal-hal seperti (1) kelengkapan rencana (misalnya, apakah itu termasuk pernyataan objektif, kumpulan dari perencanaan yang terperinci, dan jenis yang sesuai item, (2) kejelasan dan akurasi dengan setiap langkah yang telah dijelaskan, (3) kecukupan pembenaran untuk setiap langkah, dan (4) tingkat keterpaduan dari bagian-bagian rencana.
Biasanya kriteria untuk mengevaluasi jawaban digunakan untuk mengklasifikasikan jawaban-jawaban itu ke dalam lima tingkat, yang selanjutnya diberi skor 1, 2, 3, 4, 5 atau A, B, C, D, dan E.
Lebih lanjut keseragaman standar dari grading biasanya diperoleh dengan membaca jawaban dua kali untuk setiap pertanyaan. Selama membaca bacaan pertama, tulisan harus disortir secara tentatif menjadi lima tumpukan, mulai dari kualitas yang tinggi ke rendah atau sebaliknya. Pembacaan kedua dapat mencapai tujuan memeriksa keseragaman jawaban di setiap tumpukan dan membuat sebuah perubahan penting dalam menilai.
4. Evaluasi semua jawaban-jawaban siswa untuk satu pertanyaan sebelum melanjutkan ke pertanyaan berikutnya.
Menskor atau menilai tes essay dengan pertanyaan demi pertanyaan, lebih baik daripada siswa demi siswa, hal ini memungkinkan untuk mempertahankan standar keseragaman dalam menilai jawaban untuk setiap pertanyaan. Prosedur ini juga membantu untuk menghindari halo effect dalam menilai. Manfaatnya adalah agar guru dapat membandingkan jawaban-jawaban siswa dalam tingkat-tingkat yang lebih tepat, dan agar guru hanya berpegang pada satu daftar angka guna menjamin ketepatan dalam menilai.
5. Evaluasi jawaban-jawaban soal essay tanpa mengetahuai identitas penulis.
Hal ini merupakan upaya lain untuk mengontrol personal bias selama menskor. Jawaban-jawaban dari soal essay dievaluasi dalam bentuk tertulis, bukan dalam bentuk apa yang diketahui penulis dari kontak langsung dengan siswa. Cara terbaik untuk mencegah pembiasan dalam penilaian adalah mengevaluasi setiap jawaban tanpa mengetahui identitas penulis. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menginformasikan kepada siswa untuk menuliskan namanya dibelakang kertas jawabannya atau dengan menggunakan kode nomor sebagai pengganti nama.


6. Bila memungkinkan, mintalah dua atau lebih orang guru lain yang mengetahui masalah itu, untuk menskor tiap jawaban.
Hal ini diperlukan untuk mengecek kehandalan scoring terhadap jawaban-jawaban essay itu. Tentu saja hal ini tidak perlu dilakukan pada setiap penskoran, tetapi sewaktu-waktu saja, misalnya jika diperlukan untuk memilih siswa-siswa yang akan dicalonkan untuk mengikuti latihan tertentu atau untuk memilih juara sekolah.

Sementara, menurut Azhar, L. M (1991), terdapat beberapa upaya untuk meningkatkan objektivitas penilaian dalam tes essay yaitu sebagai berikut.
1. Baca beberapa lembar jawaban yang diambil secara acak (random) sebagai gambaran umum sebelum mulai memberikan penilaian.
2. Usahakan tidak melihat nama testi. Bila perlu digunting dan diberi kode seperti pada saat memeriksa tes Ebtanas.
3. Jangan memberi skor dipengaruhi oleh tulisan yang baik/buruk.
4. Periksalah nomor yang sama untuk seluruh testi baru ke nomor berikutnya.
5. Buatlah pedoman penilaian sebelumnya (terlebih-lebih untuk tes essay yang diperiksa lebih dari seorang) hingga skor yang diberikan relatif sama.
6. Buat pula kunci jawaban yang memuat hal-hal pokok yang harus ada dalam masing-masing jawaban.
7. Bila tes essay disatukan dengan tes objektif maka tes essay dapat dikategorikan “sukar” dalam merancang kisi-kisi untuk tingkat kesukaran soal tetapi bila seluruh tes adalah tes essay soal dapat dibagai menjadi 3 atau 5 tingkatan. Dengan demikian untuk yang terbagi menjadi 3 tingkatan akan terdapat soal-soal yang mudah (md), sedang (sd), dan sukar (sk). Demikian juga untuk yang terbagi menjadi 5 tingkatan akan terdapat soal-soal yang lebih mudah (lmd), mudah (md), sedang (sd), sukar (sk) dan lebih sukar (lsk).
8. Menggunakan metode berikut dalam menskor tes essay, antara lain:
a. Metode analisis: yakni menskor dengan menyiapkan model jawaban berdasarkan tahapan tingkat kebenaran suatu jawaban dengan memberikan skor tertentu. Misalnya: ¼ benar diberikan skor 2,5; ½ benar diberikan skor 5; ¾ benar diberikan skor 7,5; dan benar semuanya diberikan skor 10 untuk setiap item.
b. Metode sortir: yakni menskor dengan terlebih dahulu melakukan sortir terhadap keseluruhan pekerjaan testi. Penyortiran dilakukan dengan mengklasifikasikan jawaban yang ada. Misalnya jawaban benar (baik), cukup, sedang, kurang, dan kurang sekali. Tiap klasifikasi diberikan skor misalnya 9 – 10; 7 – 8; 5 – 6; 3 – 4; dan 1 – 2 dari yang baik hingga ke yang kurang sekali.
c. Metode keseluruhan (whole method): yakni pemeriksaan secara nomor demi nomor bagi seluruh testi hingga diperoleh jawaban dari tingkat yang paling baik hingga ke yang paling buruk lalu dilakukan pemberian skor. Misalnya yang paling baik diberikan skor 10; baik diberikan skor 8; cukup diberikan skor 6; sedang diberikan skor 4; dan kurang diberikan skor 2 untuk setiap item tes.
d. Metode pembobotan (weight system): yakni dengan memberikan perbandingan bobot skor dari setiap item tes berdasarkan tingkat kesukaran (difficulty index) soal. Misalnya untuk soal mudah dengan bobot 2, sedang 3, sukar 4 dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh Sa (skor akhir) untuk siswa A dan siswa B yang mengikuti tes essay dengan 5 item tes berikut!
Keterangan:
No : nomor soal
TK : tingkat kesukaran soal
n : skor setiap soal
W : weight/bobot skor
n × W : skor kali bobot
Sa : skor akhir
Rumus Sa =
Dari contoh di atas, ternyata antara siswa A dan B dengan (n) yang sama yakni 35 ternyata (Sa) berbeda setelah dibobotkan yakni siswa A memperoleh skor 7,47 dan siswa B memperoleh skor 6,93.

Sementara, menurut Sukardi, H.M (2009), pemberian skor pada tes essay dapat dikatakan mudah dan juga dapat dikatakan sulit. Dikatakan mudah, karena setiap guru pasti merasa bisa memberikan skor jawaban para siswanya termasuk penggunaan jawaban yang berasal dari tes essay, karena dalam pemberian skor pada tes essay tidak ada eksplanasi penilaian angka secara pasti diberikan. Sebaliknya dikatakan sulit, karena banyak faktor selalu muncul yang dapat mempengaruhi dalam pengambilan keputusan pada penilaian siswa. Faktor-faktor tersebut diantaranya subjektivitas, pertimbangan, dan pengaruh interaksi antara guru dengan para siswa selama dalam proses pembelajaran berlangsung. Untuk mengatasi faktor-faktor di atas, berikut beberapa petunjuk yang dapat digunakan sebagai acuan para guru, antara lain:
1. Menyusun jawaban kunci untuk setiap pertanyaan yang mengandung materi penting yang dapat digunakan sebagai acuan dasar ketika melakukan penilaian.
2. Menentukan skor dari setiap pertanyaan berdasarkan bobot permasalahan, kompleksitas jawaban, dan waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan jawaban.
3. Memutuskan berapa poin pengurangan skor penilaian apabila siswa melakukan kesalahan kecil, misalnya kesalahan ejaan, tanda baca, dan penggunaan kata.
4. Mengevaluasi satu pertanyaan pada semua lembar jawaban, sebelum lanjut ke pertanyaan berikutnya.
5. Guna mencek kesamaan kualitas jawaban, kelompokkan lembar jawaban siswa ke dalam 3 – 5 tumpukan dengan memperhatikan ranking dari yang tertinggi sampai terendah dan menempatkan lembar jawaban siswa ke dalam tumpukan yang ada atas dasar skor yang dicapai.
6. Usahakan dalam proses penilaian jawaban soal tidak melihat nama siswa penjawabnya.
7. Disarankan untuk sering beristirahat untuk mencegah kelelahan dan kejenuhan yang dapat mengakibatkan pemberian skor berubah secara signifikan.


PENUTUP

3.1 Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.
1. Tes essay adalah salah satu bentuk tes tertulis, yang susunannya terdiri atas item-item pertanyaan yang masing-masing mengandung permasalahan dan menuntut jawaban siswa melalui uraian-uraian kata yang merefleksikan kemampuan berpikir siswa.
2. Kelebihan tes essay diantaranya : (a) mengukur proses mental para siswa dalam menuangkan ide-ide ke dalam jawaban, (b) mengukur kemampuan siswa dalam menjawab melalui kata dan bahasa mereka sendiri, (c) mendorong siswa untuk mempelajari, menyusun, merangkai, dan menyatakan pemikiran siswa secara aktif, (d) mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusun dalam bentuk kalimat mereka sendiri, (e) mengetahui seberapa jauh siswa telah memahami dan mendalami suatu permasalahan atas dasar pengetahuan yang diajarkan di dalam kelas, (f) kebebasan respon yang diberikan oleh para siswa, (g) mencegah siswa menjawab secara menebak serta relatif lebih mudah dan lebih cepat dibuat dibandingkan dengan tes objektif. Sedangkan kelemahannya diantaranya: (a) ruang lingkup yang disajikan dalam bentuk tes essay kurang menyeluruh, (b) dalam pemeriksaan dan pemberian nilai akhir seringkali dipengaruhi faktor subjektivitas, (c) pemeriksaan jawaban pada tes essay ini tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang, (d) memeriksa jawaban tes essay cukup rumit.
3. Ditinjau dari cara menyajikan soal, tes essay dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu: Tes essay (uraian) berstruktur dan Tes essay (uraian) bebas. Sedangkan jika ditinjau dari pola jawaban siswa dan cara pemberian skor untuk setiap langkah jawaban itu, tes essay (uraian) dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu: Bentuk Uraian Objektif (BUO) dan Bentuk Uraian Non Objektif (BUNO).
4. Jenis-jenis pertanyaan dalam tes essay meliputi: (a) pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban terbatas (retricted-response questions) yang berguna dalam mengukur hasil pembelajaran pada tingkat pemahaman, aplikasi, dan analisis, dan (b) pertanyaan-pertanyaan dengan jawaban terbuka (extended-renponse questions) yang digunakan untuk mengukur hasil pembelajaran pada tingkat sintesis dan evaluasi. Pertanyaan ini memberikan kebebasan kepada siswa yang hampir tak terbatas untuk menentukan bentuk dan ruang lingkup jawaban mereka.
5. Aturan-aturan mengkonstruksi pertanyaan dalam tes essay yaitu: (a) gunakan pertanyaan essay sebagai alat ukur hasil belajar yang kompleks, (b) hubungkan pertanyaan-pertanyaan langsung yang berhubungan dengan hasil belajar yang diukur, (c) rumuskan pertanyaan yang menyajikan tugas yang jelas untuk dilakukan, (d) hindari penggunaan pertanyaan pilihan kecuali pertanyaan hasil belajar yang memerlukan itu, dan (e) sediakan waktu yang cukup untuk menjawab dan memberikan batas waktu pada setiap pertanyaan.
6. Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan objektivitas penilain dalam tes essay, diantaranya: (a) evaluasi jawaban-jawaban untuk soal essay dalam hubungannya dengan hasil belajar yang sedang diukur, (b) untuk soal-soal essay dengan jawaban terbatas (restricted-response), berilah skor dengan metode point (point method), gunakan suatu model jawaban (pedoman jawaban) sebagai petunjuk, (c) untuk soal-soal essay dengan jawaban terbuka (extended-response answer), skorlah dengan rating method, gunakan kriteria tertentu sebagai pedoman penskoran, (d) evaluasi semua jawaban-jawaban siswa untuk satu pertanyaan sebelum melanjutkan ke pertanyaan berikutnya, (e) evaluasi jawaban-jawaban soal essay tanpa mengetahuai identitas penulis, dan (f) bila memungkinkan, mintalah dua atau lebih orang guru lain yang mengetahui masalah itu, untuk menskor tiap jawaban.

3.2 Saran
Guru sebagai tenaga pendidik hendaknya memahami cara-cara dalam mengkonstruksi tes essay dan memperhatikan segala kelemahan-kelemahannya sehingga tes yang dibuat untuk mengukur hasil pembelajaran berkualitas tinggi.
DAFTAR PUSTAKA


Azhar, L.M. 1991. Proses Belajar Mengajar Pola CBSA. Surabaya: Usaha Nasional

Gronlund, N.E. 1982. Constructing Achievement Test. Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs, N.J.07632

Hamalik, O. 2001. Teknik Pengukuran dan Evaluasi Pendidikan. Bandung: Mandar Maju

Permendiknas. 2007. Permendiknas No. 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan.

Sukardi, H.M. 2009. Evaluasi Pendidikan Prinsip & Operasionalnya. Yogyakarta: Bumi Aksara

Suherman, E. 1993. Evaluasi Proses dan Hasil Belajar Matematika. Jakarta: Universitas Terbuka

18 Maret 2011

TUGAS GEOMETRI DIMENSI DUA

Tugas untuk Siswa kelas X Ak C dan kelas X Ak D SMKN 1 Singaraja

Masing-masing siswa membuat 1 paket soal yang terdiri dari 8 butir soal
Masing-masing butir soal mewakili satu materi/jenis bangun datar

Tugas dikumpulkan minggu keempat bulan maret

16 Maret 2011

KONSTRUKTIVISME RADIKAL DAN BIOLOGI KOGNITIF

1. Hakikat Pembelajaran Menurut Paham Konstruktivisme
Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Surya, 2004 dalam Dewi, 2010).
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa mengajar bukan upaya guru untuk menyampaikan bahan,tetapi bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Perubahan yang dimaksud dengan belajar adalah perubahan yang konstan, berbekas, dan menjadi milik siswa, maka dalam belajar siswa mengalami proses dan meningkatkan kemampuan mentalnya. Dengan demikian maka mengajar haruslah mengatur lingkungan agar terjadi pembelajaran yang baik. Mengajar bukan menanam pengetahuan, ini menyebabkan anak pasif. Berbeda halnya dengan istilah belajar mengajar yang sebelumnya sering digunkan. Proses belajar mengajar cenderung memisahkan kegiatan antara belajar dan mengajar.Guru mengajar dengan cara menyampaikan bahan di depan siswa, sedangkan siswa belajar dengan cara memperhatikan yang disampaikan oleh guru.
Uraian di atas memberikan batasan-batasan yang benar tentang pembelajaran. Dalam pembelajaran, guru bertugas mengatur lingkungan dan membimbing aktivitas anak. Jadi yang aktif adalah siswa, dan bukan sebaliknya. Mengajar berarti membimbing pengalaman anak. Pengalaman adalah proses dan hasil interaksi anak dengan lingkungan.Jadi interaksi dengan lingkungan itulah yang dinamakan belajar. Dari pengalaman, anak memperoleh pengertian-pengertian, sikap, penghargaan, kebiasaan, kecakapan, dan lain sebagainya. Lingkungan jauh lebih luas dibandingkan dengan buku dan kata-kata guru. Seluruh lingkungan anak adalah sumber belajar, untuk itu pelajaran hendaknya dihubungkan dengan kehidupan anak dalam lingkungannya.
Definisi pembelajaran yang disebutkan di atas sesuai dengan paham konstruktivisme. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan atau konstruksi kita sendiri (Von Glaserfeld, dalam Suparno, 1997). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Suparno (1997) pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme.
Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur konsep yang dibentuk. Menurutnya, pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang berlaku. Tetapi, menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya.
Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga dalam epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa pengetahuan kita peroleh dari adaptasi struktur kognitif kita terhadap lingkungan, seperti suatu organisme harus beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar melebihi gagasan Vico. Tidak jelas apakah Piaget juga dipengaruhi Vico.

Setelah itu muncullah beberapa ahli-ahli yang menyatakan dirinya sebagai penganut paham konstruktivis dan membuat berbagai jenis konstruktivisme. Ini mengakibatkan terdapat banyak ragam konstruktivisme. Ernest (dalam Lela, 2009) menyatakan ragam konstruktivisme sebanyak para penelitinya: “there are as many varieties of constructivism as there are researcher”. Pengertian konstruktivisme sulit dibakukan karena meliputi spektrum keyakinan yang luas tentang kognisi. Adanya perbedaan keyakinan tentang kognisi ini menjadikan perbedaan dalam epistemologi konstruktivisme. Dengan demikian, epistemologi konstruktivisme juga sulit dibakukan sehingga berdampak memungkinkan orang memperoleh interpretasi berbeda-beda bergantung pada siapa yang membaca dan epistemologi konstruktivisme yang mendasari penulisannya.

2. Beberapa Varians Konstruktivisme
Munculnya berbagai jenis konstruktivisme dari berbagai tokoh mengakibatkan perubahan makna konstruktivisme dari yang sebenarnya. Kenyataan ini membuat beberapa filsuf prihatin dan kemudian mengeluarkan beberapa teorinya. Menurut penulis ada empat varians konstruktivisme dari beberapa tokoh yang benar-benar memahami paham konstruktivisme. Keempat varians itu adalah konstruktivisme radikal, biologi kognitif, neurophysiologi, dan cybernetic. Dalam makalah ini akan dibahas dua diantaranya, yaitu konstruktivisme radikal dan biologi kognitif.

A. Konstruktivisme Radikal
Konstruktivisme radikal diperkenalkan oleh Ernst von Glasersfeld pada tahun 1960-an. Dia adalah seorang filsuf dan profesor emeritus dari psikologi di Universitas Georgia. Ernest lahir pada tahun 1917 di Munich. Konstruktivisme radikal muncul akibat keprihatinannya terhadap perkembangan paham konstruktivisme yang melenceng dari definisi konstruktivisme yang sebenarnya. Dalam konstruktivisme radikal dibahas mengenai keberadaan manusia menurut tataran filsafat. Penganut paham konstruktivisme radikal benar-benar menyadari bahwa manusia adalah self regulation mesin. Manusia merupakan mesin yang mampu meregulasinya dirinya sendiri tanpa harus ada campur tangan dari orang lain. Karena orang lain sama sekali tidak memiliki akses untuk menggerakkan segala unsur di dalam tubuhnya, termasuk otak manusia itu sendiri.
Konstruktivisme radikal mencakup tiga keyakinan dalam epistemologi konstruktivisme von Glasersfeld yaitu pengetahuan tidak dihimpun secara pasif, tetapi dihasilkan melalui kognisi aktif individu ; kognisi merupakan proses adaptif yang berfungsi membuat perilaku individu lebih sesuai pada suatu lingkungan tertentu yang diberikan ; dan mengorganisasi kognisi dapat membuat pengertian dari pengalaman seseorang, dan bukan suatu proses untuk menghasilkan representasi akurat dari kenyataan. Penerimaan terhadap ketiga keyakinan ini mengarah pada prinsip-prinsip yang berkaitan dengan sifat-sifat internal dari pengetahuan dan ide bahwa realitas eksternal ada, tetapi tidak diketahui oleh individu karena pengalaman seseorang terhadap bentuk-bentuk realitas eksternal memerlukan perantara indera, sedangkan indera tidak memberikan representasi akurat dari bentuk-bentuk realitas eksternal tersebut. Ernst von Glasersfeld dalam mengemukakan epistemologi konstruktivisme mengacu epistemologi genetik Piaget. Dia juga mengutip beberapa teori konstruktivisme yang dikemukakan oleh beberapa tokoh lain seperti Descart, George Berkly dan Vico. Pembelajaran beracuan konstruktivisme radikal memfokuskan pada siswa secara individu mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri.
Kaum konstruktivis radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang (Ernst von Glasersfeld, 1984 dalam Suparno, 1997) Konstruktivisme radikal berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk/dikonstruksi oleh pikiran kita. Bentukan itu harus “jalan” dan tidak harus selalu merupakan representasi dunia nyata (Ernst von Glasersfeld, 1984 dalam Dharsana, 2002).

Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan itu. Semua yang lain, entah objek maupun lingkungan hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut. Dalam pandangan konstruktivisme radikal, sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, yang mengatakan pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.
Konstruktivisme ini tidak pernah mengklaim objektivitas. Menurut mereka, kita tidak dapat melihat dunia pengalaman kita dari luar. Kita membentuknya dari dalam dan hidup dengannya lama sebelum kita mulai bertanya dari mana dan apa itu sebenarnya (von Glasersfeld, 1984 dalam Suparno, 1997)

B. Biologi Kognitif
Konstruktivisme biologi kognitif diperkenalkan oleh Humberto Maturana dalam bukunya yang berjudul Der Baum Des Erkenntniss (pohon pengetahuan). Humberto Maturana lahir pada tanggal 14 September 1928 di Santiago, Chile. Dia adalah seorang ilmuan biologi dan sekaligus seorang filsuf. Teori biologi kognitif ini muncul bersamaan dengan teori konstruktivisme radikal sekitar tahun 1960an. Dia telah mengembangkan teori autopoiesis, tentang kontrol otomatis yang dimiliki manusia dalam living systems. Dia bekerja di neuroscience di Universitas Chile , di pusat penelitian "Biología del Conocer" (Biologi Pengetahuan).
Biologi kognitif sebagai varian konstruktivisme ini muncul hampir bersamaan dengan konstruktivisme radikal, keduanya muncul akibat keprihatinannya terhadap perkembangan paham konstruktivisme yang melenceng dari makna konstruktivisme yang sebenarnya. Dalam konstruktivisme biologi kognitif dibahas mengenai keberadaan manusia menurut tataran biologi. Humberto Maturana sebagai pelopor teori biologi kognitif melakukan eksperimennya sekitar tahun 1980an. Pada eksperimen yang dilakukannya, didapatkan hasil bahwa seluruh organ biologi manusia mampu bekerja sendiri tanpa harus diperintah, apalagi dikendalikan oleh orang lain atau alat dari luar tubuh kecuali memang organ tubuh manusia itu sudah tidak dapat berfungsi dengan baik lagi.
Oleh karena itu penganut paham biologi kognitif menyadari bahwa manusia adalah self regulation mesin, self reprensial. Manusia merupakan mesin yang mampu meregulasinya dirinya sendiri tanpa harus ada campur tangan dari orang lain. Karena orang lain sama sekali tidak memiliki akses untuk menggerakkan segala unsur di dalam tubuhnya, termasuk otak manusia itu sendiri. Sebagai contoh bahwa manusia adalah mesin yang mampu meregulasi dirinya dan memiliki alasan yang kuat untuk melakukan sesuatu adalah ketika bagian tubuh seorang manusia terluka. Tanpa diperintah oleh siapapun, bahkan oleh manusia itu sendiri, sistem dalam tubuhnya secara alami mampu menyembuhkan luka tersebut, sepanjang lukanya tidak terlalu parah. Di dalam darah manusia terdapat cairan yang disebut plasma yang didalamnya mengandung butir darah putih dan trombosit. Keduanya berperan penting dalam proses penyembuhan luka. Trombosit mengandung sebuah enzim yang bertugas membekukan darah. Enzim mengeluarkan benang-benang fibrin. Benang fibrin itu menyebabkan darah membeku karena berbentuk seperti jaring. Jaring itu bisa menangkap dan menghalangi sel darah merah keluar dari pembluh darah yang rusak. Dengan begitu, luka pun bisa sembuh dengan sendirinya.
Sistem tersebut terjadi secara otomatis (autopoiesis). Dan proses tersebut terjadi apabila seluruh organ tubuh dalam keadaan yang baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan mahluk hidup yang mampu meregulasi dirinya tanpa ada campur tangan dari orang lain. Oleh karena itu, paham konstruktivisme biologi kognitif menyadari betul bahwa siswa sebagai manusia mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, orang lain termasuk guru tidak punya akses untuk membentuk pengetahuan mereka.


3. Revitalisasi Pembelajaran Melalui Konstruktivisme Radikal dan Biologi Kognitif
Anggapan lama yang mengatakan bahwa anak itu tidak tahu apa-apa, sehingga pendidik harus mencekoki mereka dengan macam-macam hal, kiranya sudah tidak cocok lagi di massa sekarang ini. Pengajaran dengan cara indoktrinasi sehingga siswa hanya menerima tanpa boleh mengajukan pertanyaan secara kritis, akan menjadikan siswa yang pasif. Siswa menjadi tidak kreatif karena pengetahuan hanya ditransfer dan tidak melibatkan kegiatan dan penilaian dari siswa. Pendidik perlu menyadari bahwa anak, meski kecil, sudah punya suatu pemikiran pula dalam taraf mereka. Inilah yang perlu dibantu perkembangannya.
Dalam teori konstruktivisme dikatakan bahwa dalam proses belajar, siswalah yang harus mendapatkan tekanan, merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukanya guru ataupun orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa aktif ini dalam dunia pendidikan kiranya sangat penting dan perlu terus dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru saja.
Banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktik pendidikan mereka setelah mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme, bahkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diterapkan di Indonesia-pun tak luput dari pengaruh teori ini. Lahirnya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) telah mengubah paradigma baru dalam proses pembelajaran. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi merupakan bagian integral dalam sistem pembelajaran. Namun dengan alasan masih banyaknya kendala yang dihadapi dalam penerapannya, kebanyakan pembelajaran di Indonesia masih menggunakan cara lama.
Salah satu yang dianggap sebagai kendala dalam pelaksanaan konstruktivisme adalah bahwa situasi dan kondisi setiap sekolah tidak sama. Ada beberapa sekolah yang tidak mempunyai macam-macam sarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa. Selain itu dengan alasan tertentu, guru tidak bisa membentuk kelompok belajar dalam kelasnya. Hal itu dianggap sebagai kendala dalam menerapkan konstruktivisme di kelasnya. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika guru memahami paham kontruktivisme ini. Konstruktivisme radikal dan biologi kognitif sebagai varians dari konstruktivisme berpandangan bahwa penerima (siswa) sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan, siswa adalah manusia yang mampu meregulasi dirinya sendiri tanpa bantuan dari pihak luar. Objek maupun lingkungan hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut.
Dalam pandangan konstruktivisme radikal, sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, yang mengatakan pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.
Menurut penulis, yang kiranya perlu dikembangkan dalam pembelajaran kita adalah semakin dikembangkannya kesempatan bagi siswa sendiri untuk mengekspresikan apa yang mereka ketahui dan yang tidak mereka ketahui. Dengan mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, siswa akan dibantu untuk lebih berpikir dan merefleksikan pengetahuan mereka sendiri. Diskusi kelompok adalah salah satu cara saja, masih banyak cara yang dapat menantang siswa lebih berpikir dan membangun pengetahuan mereka seperti debat, menulis paper, membuat laporan penelitian, meneliti, mengungkapkan pertanyaan dan juga sanggahan terhadap yang diungkapkan guru, dan lain-lain.

4. Untuk Direfleksikan
Selama ini praktik pendidikan kita masih sibuk dengan UN, seragam, les tambahan, buku pelajaran, yang orientasinya hanya praktik penjejalan materi pelajaran dan hasil yang akan dicapai dengan mengabaikan proses berpikir dan pembentukan pengetahuan oleh siswa sendiri secara aktif. Sistem evaluasi dengan multiple choice tidak memungkinkan siswa mengungkapkan gagasan mereka sendiri dengan lebih leluasa. Tidak mengherankan bila hasil survei Unesco terhadap anak usia 15 tahun di 43 negara menempatkan Indonesia sebagai yang terendah bersama Albania dan Peru dalam hal basic skills yang meliputi kemampuan matematika, membaca, dan sains.
Kita tak perlu pongah dengan mengatakan bahwa ada anak-anak Indonesia yang berhasil menyabet kejuaraan dunia sejenis Olimpiade Matematika dan lain-lain, karena “anak unggul” semacam itu jumlahnya hanya satu dua di antara jutaan anak Indonesia lainnya. Justru lebih parah lagi apabila orientasi pendidikan tertuju hanya untuk meraih juara sambil menutup mata terhadap kenyataan yang ada secara umum.
Konstruktivisme, khususnya konstruktivisme radikal, bisa dijadikan alat refleksi kritis bagi para penyusun kurikulum, pengambil kebijakan, dan pendidik untuk melakukan revitalisasi sistem dan praktik pendidikan kita sehingga perubahan-perubahan yang ada bukan sekadar di permukaan, namun menukik ke “roh” pendidikan dan pembelajaran itu sendiri.

IMPLEMENTASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL BERNUANSA LOCAL GENIUS UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA

Oleh
Gede Benny Kurniawan,
SMKN 1 Singaraja


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan: (1) meningkatkan aktivitas belajar siswa, dan (2) meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja tahun pelajaran 2009/2010. Data aktivitas belajar diperoleh dengan menggunakan lembar observasi. Data prestasi belajar matematika siswa diperoleh dengan menggunakan tes prestasi belajar. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil analisis menunjukkan: (1) terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa (skor rata-rata 45,88% dengan kategori cukup aktif pada siklus I meningkat menjadi 64,29% dengan kategori aktif pada siklus II), dan (2) terjadi peningkatan prestasi belajar matematika siswa (skor rata-rata 67,2 pada siklus I meningkat menjadi 72,4 pada siklus II). Ketuntasan belajar klasikalnya meningkat yaitu dari 83,72% pada siklus I menjadi 95,35% pada siklus II;

Kata-kata kunci : aktivitas belajar, prestasi belajar, kontekstual, local genius

ABSTRACT
This research aimed at: (1) improving the students’ activity ; and (2) improving the students’ mathematic learning achievement. This research was designed in the form of an action based research which was conducted in two cycles. The subjects of the research were the students of class X B in the program of marketing of SMKN 1 Singaraja, in the academic year of 2009/2010. The data of the stundents’ learning activities were gained by using questionnaire. The data of mathematic learning achievement were taken by using achievement test. The data were analyzed by using descriptive statistic. The analysis result show that: (1) there were improvement of students activity (the average score was 45,88% with active enough category in the first cycle improved to be 64,29% with active category in the second cycle), (2) there are the improvement at students’ achievement in learning mathematics (the average score was 67,2 on the first cycle improved to be 72,4 on the second cycle). The clasical learning achievement improved from 83,72% in the first cycle to 95,35% in the second cycle.

Key words : learning activity, students’ achievement, contextual, local genius



1. Pendahuluan
Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak (Zainuri, 2007). Sifat abstrak objek matematika tersebut tetap ada pada matematika sekolah, ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika sehingga banyak dari mereka menakuti dan memusuhi mata pelajaran tersebut. Kenyataan ini sangat ironis, padahal matematika merupakan ilmu dasar dalam pengembangan sains dan teknologi yang tidak terpisahkan lagi dari kehidupan manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa maju tidaknya perkembangan teknologi suatu negara tergantung dari penguasaan dan kemajuan ilmu matematika di negara tersebut.
Pentingnya keberadaan ilmu matematika juga sangat dirasakan oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sebab keberhasilan siswa lulusan SMK dalam dunia kerja sangat dipengaruhi oleh penguasaan ilmu matematika. Jika seorang siswa lulusan SMK dari kelompok bisnis dan manajemen tidak bisa merencanakan suatu usaha agar mampu mendapatkan untung dalam jumlah tertentu, maka hampir bisa dipastikan siswa tersebut tidak akan berhasil dalam usahanya. Ilmu matematika juga mengajarkan siswa bagaimana caranya menarik kesimpulan yang logis dari beberapa fakta yang ditemui, sehingga jika siswa mampu menguasai ilmu matematika tersebut maka siswa akan mampu mengambil suatu keputusan dengan cepat dan tepat.
Namun, pentingnya penguasaan matematika di Sekolah Menengah Kejuruan ini tidak diikuti oleh tingginya prestasi belajar matematika, khususnya di kelas X B Tata Niaga SMK Negeri 1 Singaraja. Ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata prestasi belajar matematika siswa yang tidak pernah lebih dari 60, berturut-turut selama tiga tahun terakhir, ini yaitu sejak tahun ajaran 2006/2007 sampai dengan 2008/2009. Pada tahun ajaran 2006/2007, rata-rata hasil belajarnya hanya mencapai 55, kemudian meningkat menjadi 58 pada tahun ajaran 2007/2008 dan turun kembali menjadi 56 pada tahun ajaran 2008/2009. Keadaan ini menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika yang dicapai oleh siswa masih jauh dari harapan, mengingat dalam kriteria ketuntasan minimal penguasaan materi dituntut minimal 60 dan ketuntasan belajar klasikalnya minimal 85 %.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan beberapa pihak, baik guru maupun siswa, ternyata ada beberapa permasalahan mendasar yang ditemui antara lain. Pertama, aktivitas belajar matematika siswa masih relatif rendah, ini terlihat dari rendahnya antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran, sedikitnya siswa yang mau menjawab pertanyaan-pertanyaan guru dan kurangnya interaksi antar siswa. Salah satu penyebabnya adalah karena mereka takut dicemooh oleh temannya, mereka malu ditertawakan karena salah dalam menjawab pertanyaan guru atau menanyakan sesuatu yang dirasakan mudah oleh teman-temannya yang lain. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila di dalam kelas itu telah dihayatinya sikap saling hormat menghormati antar sesama.
Kedua, siswa sering mengalami kesulitan dalam memahami konsep. Ini merupakan dampak dari pembelajaran konvensional yang lebih menekankan pada pengahafalan materi-materi atau contoh-contoh yang diberikan oleh guru tanpa terjadi pembentukan konsepsi yang benar dalam struktur kognitif siswa. Abstraknya objek matematika juga menjadi salah satu penyebab sulitnya siswa memahami konsep matematika, apalagi dalam pembelajaran guru tidak mampu mengusahakan agar fakta, konsep, operasi, dan prinsip dalam matematika terlihat konkret.
Ketiga, siswa tidak mengetahui hubungan antara konsep-konsep matematika yang dipelajari dengan situasi dunia nyata mereka. Hal ini senada dengan yang ditemukan oleh Jenning dan Dunne (1999). Saat ini, pendidikan yang diberikan di sekolah telah menjauhkan anak dari kehidupan yang sesungguhnya (Subagya, 2007). Akibatnya, siswa kurang menghayati dan memahami konsep-konsep matematika, dan siswa mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini akan berdampak pada adanya anggapan dari siswa bahwa mata pelajaran matematika tidak penting, karena tidak dapat diterapkan dalam dunia kerja yang nantinya mereka geluti.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, tampak bahwa siswa sangat memerlukan situasi belajar matematika yang berbeda, yang bisa membuat mereka mudah memahami konsep serta mampu menghubungkan konsep-konsep tersebut di dalam kehidupan sehari-hari mereka, khususnya di dalam dunia kerja yang akan mereka geluti. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000 dalam Zainuri, 2007). Di samping itu siswa juga memerlukan sesuatu yang bisa membuatnya tertarik untuk mengikuti pelajaran matematika. Untuk itu perlu kiranya dicari suatu pendekatan dalam pembelajaran yang lebih mengaktifkan siswa “doing mathematic”, maksudnya suatu pendekatan yang tidak hanya menuntut siswa untuk menghafal rumus-rumus tapi mampu mendorong siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri yang nantinya pengetahuan itu akan bermanfaat bagi mereka baik dalam kehidupan sehari-hari maupun terkait dengan pelajaran lainnya. Salah satu pendekatan dalam pembelajaran yang dapat melakukan hal itu adalah pendekatan kontekstual (Nurhadi, 2002)
“Pendekatan Kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari” Nurhadi (2002 : 26). Pembelajaran berbasis kontekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran produktif (Nurhadi, 2002) yakni “konstruktivisme (Constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)”
Salah satu penyebab kegagalan sektor pendidikan adalah diabaikannya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat asli yang penuh dengan kearifan lokal (local genius) dalam pembelajaran di kelas (Suastra, 2007). Latar belakang budaya yang dimiliki dan dibawa ke dalam kelas selama pembelajaran berlangsung memainkan peran yang sangat penting pada proses penguasaan materi pelajaran. Selain itu pada Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 ayat 16 secara tegas menyebutkan salah satu jenis penyelenggaraan pendidikan adalah pendidikan berbasis masyarakat (Ardana, 2007). Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan menerapkan konsep-konsep budaya lokal seperti saling menghormati antar sesama, maka diharapkan siswa berani menjawab pertanyaan guru dan berani bertanya jika ada materi yang belum dimengerti. Sehubungan dengan itu, maka dalam pembelajaran yang diterapkan perlu dimasukkan konsep-konsep atau ciri-ciri budaya Bali yang disebut Local Genius.
I Ketut Gobyah mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal (http://www.balipos. co.id). Dalam penelitian ini beberapa kearifan lokal yang diambil adalah konsep-konsep lokal seperti rwabhineda, tri hita karana dan jengah.
Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menerapkan pendekatan kontekstual, setiap siswa diharapkan memberikan kontribusi pemikiran baru yang tercipta melalui pemecahan masalah matematika sehingga terbentuk suatu lingkungan belajar yang kondusif sedemikian rupa sehingga setiap individu dalam kelas dapat berfungsi dan dipandang sebagai sumber informasi atau sebagai sumber belajar. Apalagi dalam pembelajaran, siswa selalu diingatkan lagi tentang konsep-konsep lokal yang telah mereka ketahui sebelumnya, seperti saling hormat-menghormati antar sesama, menghargai pendapat orang lain, dan lain sebagainya. Dengan konsep-konsep lokal itu, siswa tidak canggung untuk berpartisifasi aktif dalam pembelajaran. Ini menyebabkan pembelajaran lebih bermkna sehingga siswa mampu menguasai konsep setiap indikator yang dipelajarinya, ini berdampak pada peningkatan prestasi belajarnya.
Atas dasar kenyataan yang diuraikan tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Implementasi Pendekatan Kontekstual Bernuansa Local Genius untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Matematika”
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. (1) Apakah pendekatan kontekstual bernuansa local genius mampu meningkatkan aktivitas belajar matematika siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja ?, dan (2) Apakah pendekatan kontekstual bernuansa local genius mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja ?
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja dengan menerapkan pendetakan kontekstual bernuansa local genius dalam pembelajaran matematika, dan (2) Meningkatkan prestasi belajar siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja dengan menerapkan pendekatan kontekstual bernuansa local genius dalam pembelajaran matematika.
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : (1) bagi siswa, implementasi pendetakan kontekstual bernuansa local genius dalam pembelajaran matematika dapat melatih dan membantu siswa menghubungkan konsep pelajaran dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, (2) bagi guru, dengan melakukan penelitian ini, guru dapat memperoleh pengalaman langsung dalam melakukan penelitian, khususnya penelitian tindakan kelas dengan menerapkan pendetakan kontekstual bernuansa local genius, dan (3) bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai salah satu alternatif dalam memilih perangkat pembelajaran sebagai upaya meningkatkan aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa

2. Metode Penelitian
Jenis Penelitian yang dilaksanakan ini adalah penelitian tindakan kelas atau classroom action research yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki proses pembelajaran di sekolah pada umumnya dan dalam kelas pada khususnya. Dalam pelaksanaan tindakan digunakan penerapan pendekatan kontekstual bernuansa local genius..
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja tahun ajaran 2009/2010 yang berjumlah 43 orang dengan 19 orang siswa laki-laki dan 24 orang siswa perempuan. Sedangkan obyek dari penelitian ini adalah aktivitas belajar dan prestasi belajar matematika siswa. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas dengan mengikuti beberapa tahapan seperti yang dikemukakan Kemmis & Taggart (1998) yaitu 1) tahap perencanaan (planing), 2) tahap tindakan (action), 3) tahap observasi / evaluasi (evaluation), dan 4) tahap refleksi (reflection), kemudian kembali lagi ke tahap perencanaan, tahap tindakan dan seterusnya sehingga membentuk siklus. Penelitian ini dilaksanakan sebanyak 2 siklus, masing-masing siklus terdiri dari tiga kali pertemuan dengan mengambil materi operasi hitung bilangan riil untuk siklus I dan perbandingan untuk siklus II.
Pada tahap perencanaan siklus I, hal-hal yang perlu dipersiapkan meliputi: 1) menentukan materi ajar yaitu operasi hitung bilangan riil, 2) menyiapkan permasalahan-permasalahan nyata yang sesuai dengan materi, 3) Membentuk kelompok siswa yang bersifat heterogen, baik jenis kelamin maupun kemampuan kognitifnya dengan anggota lima sampai enam orang. Indikator kemampuan kognitif siswa digunakan nilai matematika pada uji standarisasi matematika pra penjurusan, 4) menyiapkan LKS, 5) menyiapkan Perangkat Pembelajaran (RPP), dan 5) menyiapkan instrumen penelitian berupa lembar observasi aktivitas belajar siswa dan tes Prestasi Belajar I
Langkah-langkah yang dilaksanakan pada tahap pelaksanaan tindakan dipaparkan sebagai berikut. Pada Tahap pendahuluan guru menginformasikan beberapa materi yang harus diingat kembali oleh siswa sebagai prasyarat dalam mempelajari materi yang akan diberikan, kemudian guru menceritakan sebuah kisah nyata yang berhubungan dengan materi, cerita ini dikemas secara ringan dan lucu dengan diselingi beberapa pertanyaan untuk memotivasi siswa. Pada tahap inti pembelajaran guru melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Setelah siswa berkumpul sesuai dengan kelompoknya pada tempat yang telah ditentukan, guru memberikan fasilitas pada siswa berupa LKS dan beberapa alat peraga pada masing-masing kelompok.
2. Siswa menguasai materi yang ada pada LKS dilengkapi dengan sedikit penjelasan dari guru
3. Siswa diberi kesempatan berdiskusi dalam kelompoknya untuk membahas masalah-masalah yang tertuang pada LKS, siswa menyelesaikan masalah dengan memilih atau membangun strategi sendiri (pada tahap ini, guru mengingatkan konsep rwabhineda pada siswa, bahwa kita harus saling mengahargai pendapat teman tanpa harus mempertajam perbedaan yang ada dan tidak cepat menyalahkan pendapat teman).
4. Guru berkeliling dan mengawasi siswa selama kerja kelompok berlangsung (pada tahap ini guru juga mengingatkan siswa tentang konsep tri hita karana, bahwa mereka wajib membantu teman yang kesulitan dalam kelompoknya).
5. Setelah waktu untuk diskusi kelompok berakhir, dilanjutkan dengan diskusi kelas, pada saat ini semua kelompok memberikan pendapatnya masing-masing yang masih dalam bentuk pengetahuan informal, kemungkinan antara kelompok yang satu dengan yang lainnya memiliki cara memperoleh jawaban yang berbeda-beda, jika demikian maka guru berperan untuk mengetengahinya. (pada tahap ini guru menananmkan konsep jengah pada siswa, bahwa mereka pasti bisa, mereka pasti bisa mengerjakan soal-soal tersebut. Guru juga memberikan penguatan bagi siswa yang berhasil menjawab soal, dan memberikan kalimat-kalimat motivasi bagi yang gagal menjawab soal)
6. Dari hasil diskusi tersebut, Guru secara perlahan membawa siswa ke matematika formal, dilanjutkan dengan pemberian beberapa butir soal kepada siswa untuk kemudian didiskusikan bersama-sama
Pada Tahap Penutup, guru mengajak siswa untuk membuat rangkuman materi kemudian dilanjutkan dengan memberikan tes kecil yang diselesaikan secara individual dan diakhiri dengan pemberian PR
Observasi mengenai aktivitas belajar dilakukan oleh peneliti dan satu orang rekan peneliti yang membantu pelaksanaan penelitian ini. Observasi mengenai aktivitas belajar siswa dilakukan dengan cara mengisi lembar observasi yang telah disediakan sebelumnya. Evaluasi dilaksanakan pada akhir siklus dengan menggunakan tes prestasi belajar.
Refleksi dilakukan oleh peneliti pada akhir siklus, sebagai acuan dalam refleksi ini adalah hasil observasi dan tes prestasi belajar serta hasil wawancara kepada siswa terhadap kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam mengikuti pembelajaran. Hasil refleksi ini digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki serta menyempurnakan perencanaan dan pelaksanaan tindakan pada siklus berikutnya.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas: (1) data aktivitas belajar, yang dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi aktivitas belajar siswa pada setiap pertemuan. Lembar observasi yang digunakan berisikan deskriptor-deskriptor dalam indikator prilaku siswa yang akan diamati selama proses pembelajaran berlangsung. Setiap deskriptor pada masing-masing indikator ditentukan persentase banyak siswa yang menampakkan deskriptor tersebut, dan (2) data mengenai prestasi pelajar siswa, yang dikumpulkan dengan tes prestasi belajar siswa pada akhir setiap siklus. Tes prestasi belajar ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan tindakan yang dilakukan dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa terhadap materi yang diberikan. Instrumen ini disusun oleh peneliti dengan berpedoman terhadap tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. Tes prestasi belajar ini terdiri dari 10 butir soal esay.
Analisis terhadap aktivitas siswa dilakukan secara deskriptif. Kriteria penggolongan aktivitas disusun berdasarkan mean ideal (MI) dan standar deviasi ideal (SDI). Aktivitas siswa ditentukan dengan menghitung rata-rata persentase siswa yang memenuhi indikator aktivitas siswa untuk kemudian dikategorikan dengan pedoman berikut.
Rentangan skor Kategori
75% ≤ A Sangat aktif
58,33% ≤ A < 75% Aktif 41,66% ≤ A < 58,33% Cukup aktif 24,99% ≤ A < 41,66% Kurang aktif A < 24,99% Sangat Kurang aktif Aktivitas siswa diharapkan minimal ada pada kategori aktif. Data Prestasi belajar siswa dianalisis secara deskriptif yaitu dengan menentukan nilai rata-rata prestasi belajar (mean) Kualifikasi prestasi belajar ditentukan dengan kriteria berikut. Rentangan Nilai Kategori 85 ≤ M ≤ 100 Sangat baik 70 ≤ M < 85 Baik 55 ≤ M < 70 Cukup 40 ≤ M < 55 Kurang 0 ≤ M < 40 Sangat kurang Dengan kriteria keberhasilan adalah nilai rata-rata prestasi belajar kelas sekurang-kurangnya 60 sesuai dengan nilai KKM kedua materi yang diambil. Dihitung juga daya serap dan ketuntasan belajar siswa dengan kriteria keberhasilan daya serap (DS)  60% dan ketuntasan belajar (KB)  85%. 3. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis pada siklus I dan II, didapatkan data sebagai berikut. SIKLUS Aktivitas Belajar Prestasi Belajar Skor rata-rata Kategori Skor rata-rata Kategori KB I 45,88% Cukup aktif 67,2 cukup 83,72% II 64,29% aktif 72,4 baik 95,35% Dari hasil refleksi pada siklus I, terdapat kendala-kendala yang menyebabkan belum tercapainya hasil yang diharapkan, yaitu: (1) ada beberapa siswa yang tidak mau berpartisipasi dalam kelompoknya. Dari hasil pengamatan dan wawancara, hal ini disebabkan karena beberapa di antara mereka masih belum mengerti tentang konsep-konsep local genius yang disebutkan guru, beberapa siswa juga tidak mendengarkan kalimat-kalimat guru yang berkaitan dengan local genius yang disampaikan pada saat mereka mengerjakan LKS dalam kelompoknya, mereka asik mengerjakan soal-soal yang ada pada LKS ; (2) banyak siswa yang mengeluh, mereka mengatakan bahwa waktu yang diberikan untuk diskusi terlalu sedikit, sehingga banyak permasalahan yang belum diselesaikan dan (3) pada saat menghadapi tes, masih banyak siswa yang belum mempersiapkan diri secara maksimal, hanya ada beberapa orang siswa saja yang mau dan berani bertanya pada guru pengajar di luar jam pelajaran. Berdasarkan kendala-kendala yang dihadapi pada siklus I, maka pada siklus II dilakukan upaya-upaya perbaikan yaitu: (1) kalimat-kalimat yang benuansa local genius disampaikan sebelum kerja kelompok dilangsungkan, serta diulangi lagi pada saat kerja kelompok ; (2) untuk menambah antusias dan motivasi siswa pada siklus II peneliti/guru memilih salah satu kelompok sebagai kelompok terbaik dengan kriteria dapat menyelesaikan LKS paling cepat dan bila salah satu anggotanya yang ditunjuk secara acak mampu menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru dan (3) guru / peneliti memberikan arahan kepada siswa agar tidak malu bertanya, baik pada temannya maupun pada guru pengajarnya di luar jam pelajaran jika ada soal-soal yang tidak mampu dipecahkannya. Selain itu guru juga memberikan kesempatan kepada siswa ( 15 menit) untuk bertanya sebelum tes dimulai. Dengan melakukan perbaikan/pemecahan masalah terhadap kendala-kendala yang dihadapi pada siklus I, pembelajaran pada siklus II tampak lebih baik dari sebelumnya, hampir semua siswa berperan aktif dalam pembelajaran, hal ini berdampak pada hasil yang didapatkan. Hasil ini meyakinkan pendapat Erman Suherman (2010) yang menyatakan bahwa pendekatan kontekstual sejalan dengan tumbuh-kembangnya matematika itu sendiri dan ilmu pengetahuan secara umum. Matematika tumbuh dan berkembang bukan melalui pemberitahuan, akan tetapi melalui inkuiri, kontruksivisme, tanya-jawab, dan semacamnya yang dimulai dari pengamatan pada kehidupan sehari-hari yang dialami secara nyata Secara umum penelitian ini dapat dikatakan berhasil, karena dua butir kriteria keberhasilan yang diharapkan dapat tercapai. Aktivitas dan prestasi belajar meningkat setelah diterapkan pendekatan kontekstual bernuansa local genius pada kelas tersebut. Hal ini senada dengan hasil yang didapatkan oleh Reni Astari Hidayat (2009) yang mengatakan bahwa terjadi peningkatan aktivitas siswa kelas VIII A SMP Muhamadyah 3 dalam pembelajaran setelah diterapkannnya pendekatan kontekstual. Selain itu Edy Mulyono (2008) juga mengatakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan konvensional. Keberhasilan yang diperoleh dalam penelitian ini disebabkan karena adanya kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh pendekatan kotekstual bernuansa local genius yang diterapkan dalam pembelajaran, kelebihan-kelebaihan tersebut diantaranya: (1) dengan pembelajaran kontekstual siswa menjadi lebih mudah memahami konsep karena konsep matematika dikonstruksi sendiri oleh siswa berdasarkan pengalaman yang dimiliki sebelumnya ; (2) mereka menjadi tahu hubungan antara konsep-konsep matematika yang dipelajari dengan situasi dunia nyata ; (3) dengan implementasi pendekatan kotekstual bernuansa lodal genius, keragaman pendapat dan kreatifitas siswa dalam menyelesaikan permasalahan sangat dihargai. Ini akan mendorong siswa untuk berani mengajukan pendapat sehingga siswa tidak tegang belajar matematika, suasana belajar di kelas tampak lebih aktif, semua siswa berperan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan ; (4) guru bisa lebih banyak menggunakan waktunya untuk menjalankan fungsinya sebagai penasehat, pembimbing, motivator, dan fasilitator dalam kegiatan belajar bukan sebagai penceramah di depan kelas. Namun masih ada beberapa kelemahan dan kendala yang ditemui dalam penerapan pendekatan kontekstual bernuansa local genius ini yaitu diantaranya: (1) waktu yang dibutuhkan untuk menerapkan model pembelajaran ini cukup banyak, siswa sering mengeluh kekurangan waktu, dan (2) jumlah siswa yang dilibatkan dalam penelitian cukup banyak sehingga pelaksanaannya tidak optimal. 4. Penutup Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, implementasi pendekatan kotekstual bernuansa local genius dapat meningkatkan aktivitas belajar matematika siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja, skor rata-rata aktivitas belajar meningkat dari sebesar 45,88% pada siklus I dengan kategori cukup aktif menjadi sebesar 64,29% pada siklus II dengan kategori aktif. Kedua, implementasi pendekatan kotekstual bernuansa local genius dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja, dengan skor rata-rata prestasi belajar siswa yang diperoleh pada siklus I dan II masing-masing sebesar 67,2 dan 72,4. Ketuntasan belajar klasikal pada siklus I dan II masing -masing sebesar 83,72% dan 95,35%. Berdasarkan hasil penelitian implementasi pendekatan kotekstual bernuansa local genius dalam pembelajaran matematika terjadi peningkatan aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa, maka disarankan hal-hal sebagai berikut. (1) Kepada guru matematika diharapkan untuk mencoba menerapkan pendekatan kotekstual bernuansa local genius dalam pembelajaran sebagai upaya untuk meningkatkan aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa, (2) Kepada Kepala Sekolah diharapkan untuk selalu mendukung upaya yang dilakukan guru dalam memperbaiki kualitas pembelajarannya, baik dalam bentuk moril maupun material. DAFTAR PUSTAKA Ardana, I Made. 2007. Pemanfaatan Local Genius Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam seminar FMIPA UNDIKSHA tentang pengkajian local genius dalam pengembangan pendidikan MIPA pada hari kamis, 27 September 2007 Gobyah, Ketut. “Berpijak pada Kearifan Lokal”, tersedia di http://www.balipos. co.id, diakses tanggal 10 Juli 2009 Hidayat, Reni Astari. 2009. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa. Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan). Jenning, Sue & R. Dunne. 1999. Math Stories, Real Stories, Real-life Stories. http:// www.ex.ac.uk/telematics/T3/maths/actar01.htm. diakses tanggal 10 Juli 2009 Mulyono, Edy. 2008. Eksperimentasi Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kotekstual pada Pokok Bahasan Aritmatika Sosial. Tesis (tidak diterbitkan) Nurhadi, 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)). Jakarta : Depdiknas Suastra, I Wayan. 2007. Pembelajaran Sains (Fisika) Berbasis Local Genius Sebagai Upaya Mengembangkan Pendidikan Nilai di Sekolah. Makalah disajikan dalam seminar FMIPA UNDIKSHA tentang pengkajian local genius dalam pengembangan pendidikan MIPA pada hari kamis, 27 September 2007 Subagia, I Wayan. 2007. Beberapa Konsep Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal “Masyarakat Bali”. Makalah disajikan dalam seminar FMIPA UNDIKSHA tentang pengkajian local genius dalam pengembangan pendidikan MIPA pada hari kamis, 27 September 2007 Suherman, Erman. 2000. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. Tersedia di http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache: ..., diakses tanggal 18 Mei 2010 Zainuri, 2007. Pembelajaran Matematika Realistik (RME). Tersedia di http://zainurie.wordpress.com/2007/04/13/pembelajaran-matematika-realistik-rme/. Diakses pada tanggal 9 Agustus 2008

15 Maret 2011

MENCINTAI MATEMATIKA LEWAT KUIS ATAU GAME

Oleh. Gede Benny Kurniawan

Ada yang takut dengan narkoba ? wajar apabila ada di antara kalian (para siswa) yang takut dengan yang namanya narkoba. Tapi jika ada di antara siswa yang takut dengan matematika, ini tidak wajar apalagi sampai memusuhi pelajaran tersebut.
Penyalahgunaan narkoba memang tidak memberikan manfaat sedikitpun bagi pemakainya bahkan justru memberikan dampak negatif yang luar biasa. Sedangkan matematika adalah ilmu yang sangat besar kontribusinya bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Melalui teori-teori dalam ilmu matematika , IPTEK berkembang dengan amat sangat pesatnya sehingga sekarang kita bisa menikmati hasil-hasil dari perkembangan IPTEK tersebut. Dari fakta tersebut, sudah sepantasnyalah kita menjauhi narkoba yang notabene tidak memberikan manfaat positif bagi kita, dan semestinya kita lebih mendalami dan mencintai matematika sebagai ilmu yang dapat melatih daya nalar kita.
Namun, fenomena yang terjadi justru sebaliknya, banyak siswa yang menakuti dan memusuhi matematika dan cenderung menyukai sesuatu yang jelas-jelas berakibat buruk terhadap diri mereka, seperti merokok, minum-minuman keras, dan fatalnya ada siswa (bukan siswa SMKN 1 Singaraja) yang diindikasikan menggunakan narkoba.
Ini merupakan tantangan yang cukup serius bagi kita sebagai tenaga pendidik, khususnya guru pengajar matematika untuk mengubah presepsi siswa tentang matematika. Akan tetapi, kadangkala kita sebagai guru pengajar matematika merasa bangga apabila ada yang mengatakan bahwa matematika adalah ilmu yang sulit dan rumit dan kadangkala kita setuju dengan opini publik yang mengatakan bahwa matematika merupakan ilmu yang patut ditakuti.
Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi pada diri kita sebagai guru pengajar matematika jika kita memang berusaha untuk mengajak siswa tidak takut dan mulai mencintai matematika. Untuk itu, sebagai langkah awal kita semua harus sepakat bahwa matematika bukan narkoba atau hantu yang perlu ditakuti.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengajak siswa lebih menyukai matematika, salah satunya adalah dengan memilih metode pengajaran yang tepat disertai dengan gaya mengajar yang elegan. Gaya mengajar yang tidak terlalu tegang dengan diselingi joke-joke segar yang berhubungan dengan materi biasanya mampu menghilangkan fobia siswa terhadap matematika. Apalagi jika kita bisa membuat game-game atau kuis-kuis yang berhubungan dengan matematika, ini cukup ampuh untuk menarik perhatian siswa. Untuk itu, di akhir tulisan ini saya sertakan beberapa kuis atau teka-teki matematika yang mudah-mudahan bisa mengajak siswa untuk lebih tertarik lagi dengan matematika.
Tidak mudah memang mengubah sesuatu yang sudah dianggap sebagai suatu kewajaran, apalagi sampai mengubah perasaan takut siswa terhadap matematika menjadi cinta, tapi dengan selalu berusaha dan berjuang pasti kita bisa. Bukankah dalam Kitab Suci Bhagawad Gita dikatakan bahwa hidup adalah suatu tantangan dan petualangan, oleh karena itu hadapi dan berjuanglah !


* * * * * * * * * * * * * *

Kuis I ;
Kuis yang pertama ini lebih ditujukan kepada anak-anak jurusan penjualan, tapi bukan berarti jurusan yang lain tidak boleh menjawab.
Misalnya kamu sebagai penjual minyak tanah. Kamu memiliki satu drum penuh minyak tanah yang volumenya 9 liter. Kemudian ada 2 orang pembeli dengan membawa jirigen kosong yang volumenya masing-masing 5 liter dan 4 liter. Kedua pembeli tadi bermaksud membeli 3 liter minyak tanah. Bagaimana cara kamu melayani kedua pembeli tersebut apabila kamu hanya memiliki alat pengukur (cantingan) dengan takaran 2 liter saja tanpa harus meminjam cantingan ke tempat lain ?

Kuis II ;
Kuis yang kedua ini ditujukan untuk semua jurusan, bisa digunakan untuk menarik perhatian siswa dan sedikit memberikan hiburan.
Misalnya kamu sebagi petugas penjara, kemudian kamu menghadapi kasus seperti berikut ini : seseorang karena suatu kasus dikenai hukuman seumur hidup, karena ada hal-hal yang meringankan maka hukumannya dipotong setengahnya. Bagaimana cara kamu melaksanakan hukuman ?