About Blog

Blog tentang matematika

18 Maret 2011

TUGAS GEOMETRI DIMENSI DUA

Tugas untuk Siswa kelas X Ak C dan kelas X Ak D SMKN 1 Singaraja

Masing-masing siswa membuat 1 paket soal yang terdiri dari 8 butir soal
Masing-masing butir soal mewakili satu materi/jenis bangun datar

Tugas dikumpulkan minggu keempat bulan maret

16 Maret 2011

KONSTRUKTIVISME RADIKAL DAN BIOLOGI KOGNITIF

1. Hakikat Pembelajaran Menurut Paham Konstruktivisme
Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya (Surya, 2004 dalam Dewi, 2010).
Pengertian tersebut menunjukkan bahwa mengajar bukan upaya guru untuk menyampaikan bahan,tetapi bagaimana siswa dapat mempelajari bahan sesuai dengan tujuan. Perubahan yang dimaksud dengan belajar adalah perubahan yang konstan, berbekas, dan menjadi milik siswa, maka dalam belajar siswa mengalami proses dan meningkatkan kemampuan mentalnya. Dengan demikian maka mengajar haruslah mengatur lingkungan agar terjadi pembelajaran yang baik. Mengajar bukan menanam pengetahuan, ini menyebabkan anak pasif. Berbeda halnya dengan istilah belajar mengajar yang sebelumnya sering digunkan. Proses belajar mengajar cenderung memisahkan kegiatan antara belajar dan mengajar.Guru mengajar dengan cara menyampaikan bahan di depan siswa, sedangkan siswa belajar dengan cara memperhatikan yang disampaikan oleh guru.
Uraian di atas memberikan batasan-batasan yang benar tentang pembelajaran. Dalam pembelajaran, guru bertugas mengatur lingkungan dan membimbing aktivitas anak. Jadi yang aktif adalah siswa, dan bukan sebaliknya. Mengajar berarti membimbing pengalaman anak. Pengalaman adalah proses dan hasil interaksi anak dengan lingkungan.Jadi interaksi dengan lingkungan itulah yang dinamakan belajar. Dari pengalaman, anak memperoleh pengertian-pengertian, sikap, penghargaan, kebiasaan, kecakapan, dan lain sebagainya. Lingkungan jauh lebih luas dibandingkan dengan buku dan kata-kata guru. Seluruh lingkungan anak adalah sumber belajar, untuk itu pelajaran hendaknya dihubungkan dengan kehidupan anak dalam lingkungannya.
Definisi pembelajaran yang disebutkan di atas sesuai dengan paham konstruktivisme. Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan atau konstruksi kita sendiri (Von Glaserfeld, dalam Suparno, 1997). Pengetahuan bukan tiruan dari realitas, bukan juga gambaran dari dunia kenyataan yang ada. Pengetahuan merupakan hasil dari konstruksi kognitif melalui kegiatan seseorang dengan membuat struktur, kategori, konsep, dan skema yang diperlukan untuk membentuk pengetahuan tersebut.
Menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Suparno (1997) pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun, bila ditelusuri lebih jauh, gagasan pokok konstruktivisme sebenarnya sudah dimulai oleh Giambatissta Vico, seorang epistemolog dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme.
Pada tahun 1710, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti “mengetahui bagaimana membuat sesuatu.” Ini berarti bahwa seseorang itu baru mengetahui sesuatu jika ia dapat menjelaskan unsur-unsur apa yang membangun sesuatu itu. Bagi Vico, pengetahuan selalu menunjuk kepada struktur konsep yang dibentuk. Menurutnya, pengetahuan merupakan struktur konsep dari pengamat yang berlaku. Tetapi, menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya.
Cukup lama gagasan Vico tidak diketahui orang dan seakan dipendam. Piaget menuliskan gagasan konstruktivisme dalam teori tentang perkembangan kognitif dan juga dalam epistemologi genetiknya. Piaget mengungkapkan teori adaptasi kognitifnya, yaitu bahwa pengetahuan kita peroleh dari adaptasi struktur kognitif kita terhadap lingkungan, seperti suatu organisme harus beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat melanjutkan kehidupan. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar melebihi gagasan Vico. Tidak jelas apakah Piaget juga dipengaruhi Vico.

Setelah itu muncullah beberapa ahli-ahli yang menyatakan dirinya sebagai penganut paham konstruktivis dan membuat berbagai jenis konstruktivisme. Ini mengakibatkan terdapat banyak ragam konstruktivisme. Ernest (dalam Lela, 2009) menyatakan ragam konstruktivisme sebanyak para penelitinya: “there are as many varieties of constructivism as there are researcher”. Pengertian konstruktivisme sulit dibakukan karena meliputi spektrum keyakinan yang luas tentang kognisi. Adanya perbedaan keyakinan tentang kognisi ini menjadikan perbedaan dalam epistemologi konstruktivisme. Dengan demikian, epistemologi konstruktivisme juga sulit dibakukan sehingga berdampak memungkinkan orang memperoleh interpretasi berbeda-beda bergantung pada siapa yang membaca dan epistemologi konstruktivisme yang mendasari penulisannya.

2. Beberapa Varians Konstruktivisme
Munculnya berbagai jenis konstruktivisme dari berbagai tokoh mengakibatkan perubahan makna konstruktivisme dari yang sebenarnya. Kenyataan ini membuat beberapa filsuf prihatin dan kemudian mengeluarkan beberapa teorinya. Menurut penulis ada empat varians konstruktivisme dari beberapa tokoh yang benar-benar memahami paham konstruktivisme. Keempat varians itu adalah konstruktivisme radikal, biologi kognitif, neurophysiologi, dan cybernetic. Dalam makalah ini akan dibahas dua diantaranya, yaitu konstruktivisme radikal dan biologi kognitif.

A. Konstruktivisme Radikal
Konstruktivisme radikal diperkenalkan oleh Ernst von Glasersfeld pada tahun 1960-an. Dia adalah seorang filsuf dan profesor emeritus dari psikologi di Universitas Georgia. Ernest lahir pada tahun 1917 di Munich. Konstruktivisme radikal muncul akibat keprihatinannya terhadap perkembangan paham konstruktivisme yang melenceng dari definisi konstruktivisme yang sebenarnya. Dalam konstruktivisme radikal dibahas mengenai keberadaan manusia menurut tataran filsafat. Penganut paham konstruktivisme radikal benar-benar menyadari bahwa manusia adalah self regulation mesin. Manusia merupakan mesin yang mampu meregulasinya dirinya sendiri tanpa harus ada campur tangan dari orang lain. Karena orang lain sama sekali tidak memiliki akses untuk menggerakkan segala unsur di dalam tubuhnya, termasuk otak manusia itu sendiri.
Konstruktivisme radikal mencakup tiga keyakinan dalam epistemologi konstruktivisme von Glasersfeld yaitu pengetahuan tidak dihimpun secara pasif, tetapi dihasilkan melalui kognisi aktif individu ; kognisi merupakan proses adaptif yang berfungsi membuat perilaku individu lebih sesuai pada suatu lingkungan tertentu yang diberikan ; dan mengorganisasi kognisi dapat membuat pengertian dari pengalaman seseorang, dan bukan suatu proses untuk menghasilkan representasi akurat dari kenyataan. Penerimaan terhadap ketiga keyakinan ini mengarah pada prinsip-prinsip yang berkaitan dengan sifat-sifat internal dari pengetahuan dan ide bahwa realitas eksternal ada, tetapi tidak diketahui oleh individu karena pengalaman seseorang terhadap bentuk-bentuk realitas eksternal memerlukan perantara indera, sedangkan indera tidak memberikan representasi akurat dari bentuk-bentuk realitas eksternal tersebut. Ernst von Glasersfeld dalam mengemukakan epistemologi konstruktivisme mengacu epistemologi genetik Piaget. Dia juga mengutip beberapa teori konstruktivisme yang dikemukakan oleh beberapa tokoh lain seperti Descart, George Berkly dan Vico. Pembelajaran beracuan konstruktivisme radikal memfokuskan pada siswa secara individu mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri.
Kaum konstruktivis radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. Bagi konstruktivis radikal, pengetahuan tidak merefleksikan suatu kenyataan ontologis objektif, tetapi merupakan suatu pengaturan dan organisasi dari suatu dunia yang dibentuk oleh pengalaman seseorang (Ernst von Glasersfeld, 1984 dalam Suparno, 1997) Konstruktivisme radikal berpegang bahwa kita hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk/dikonstruksi oleh pikiran kita. Bentukan itu harus “jalan” dan tidak harus selalu merupakan representasi dunia nyata (Ernst von Glasersfeld, 1984 dalam Dharsana, 2002).

Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari seseorang yang mengetahui, maka tidak dapat ditransfer kepada penerima yang pasif. Penerima sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan itu. Semua yang lain, entah objek maupun lingkungan hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut. Dalam pandangan konstruktivisme radikal, sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, yang mengatakan pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.
Konstruktivisme ini tidak pernah mengklaim objektivitas. Menurut mereka, kita tidak dapat melihat dunia pengalaman kita dari luar. Kita membentuknya dari dalam dan hidup dengannya lama sebelum kita mulai bertanya dari mana dan apa itu sebenarnya (von Glasersfeld, 1984 dalam Suparno, 1997)

B. Biologi Kognitif
Konstruktivisme biologi kognitif diperkenalkan oleh Humberto Maturana dalam bukunya yang berjudul Der Baum Des Erkenntniss (pohon pengetahuan). Humberto Maturana lahir pada tanggal 14 September 1928 di Santiago, Chile. Dia adalah seorang ilmuan biologi dan sekaligus seorang filsuf. Teori biologi kognitif ini muncul bersamaan dengan teori konstruktivisme radikal sekitar tahun 1960an. Dia telah mengembangkan teori autopoiesis, tentang kontrol otomatis yang dimiliki manusia dalam living systems. Dia bekerja di neuroscience di Universitas Chile , di pusat penelitian "BiologĂ­a del Conocer" (Biologi Pengetahuan).
Biologi kognitif sebagai varian konstruktivisme ini muncul hampir bersamaan dengan konstruktivisme radikal, keduanya muncul akibat keprihatinannya terhadap perkembangan paham konstruktivisme yang melenceng dari makna konstruktivisme yang sebenarnya. Dalam konstruktivisme biologi kognitif dibahas mengenai keberadaan manusia menurut tataran biologi. Humberto Maturana sebagai pelopor teori biologi kognitif melakukan eksperimennya sekitar tahun 1980an. Pada eksperimen yang dilakukannya, didapatkan hasil bahwa seluruh organ biologi manusia mampu bekerja sendiri tanpa harus diperintah, apalagi dikendalikan oleh orang lain atau alat dari luar tubuh kecuali memang organ tubuh manusia itu sudah tidak dapat berfungsi dengan baik lagi.
Oleh karena itu penganut paham biologi kognitif menyadari bahwa manusia adalah self regulation mesin, self reprensial. Manusia merupakan mesin yang mampu meregulasinya dirinya sendiri tanpa harus ada campur tangan dari orang lain. Karena orang lain sama sekali tidak memiliki akses untuk menggerakkan segala unsur di dalam tubuhnya, termasuk otak manusia itu sendiri. Sebagai contoh bahwa manusia adalah mesin yang mampu meregulasi dirinya dan memiliki alasan yang kuat untuk melakukan sesuatu adalah ketika bagian tubuh seorang manusia terluka. Tanpa diperintah oleh siapapun, bahkan oleh manusia itu sendiri, sistem dalam tubuhnya secara alami mampu menyembuhkan luka tersebut, sepanjang lukanya tidak terlalu parah. Di dalam darah manusia terdapat cairan yang disebut plasma yang didalamnya mengandung butir darah putih dan trombosit. Keduanya berperan penting dalam proses penyembuhan luka. Trombosit mengandung sebuah enzim yang bertugas membekukan darah. Enzim mengeluarkan benang-benang fibrin. Benang fibrin itu menyebabkan darah membeku karena berbentuk seperti jaring. Jaring itu bisa menangkap dan menghalangi sel darah merah keluar dari pembluh darah yang rusak. Dengan begitu, luka pun bisa sembuh dengan sendirinya.
Sistem tersebut terjadi secara otomatis (autopoiesis). Dan proses tersebut terjadi apabila seluruh organ tubuh dalam keadaan yang baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa manusia merupakan mahluk hidup yang mampu meregulasi dirinya tanpa ada campur tangan dari orang lain. Oleh karena itu, paham konstruktivisme biologi kognitif menyadari betul bahwa siswa sebagai manusia mampu mengkonstruksi sendiri pengetahuannya, orang lain termasuk guru tidak punya akses untuk membentuk pengetahuan mereka.


3. Revitalisasi Pembelajaran Melalui Konstruktivisme Radikal dan Biologi Kognitif
Anggapan lama yang mengatakan bahwa anak itu tidak tahu apa-apa, sehingga pendidik harus mencekoki mereka dengan macam-macam hal, kiranya sudah tidak cocok lagi di massa sekarang ini. Pengajaran dengan cara indoktrinasi sehingga siswa hanya menerima tanpa boleh mengajukan pertanyaan secara kritis, akan menjadikan siswa yang pasif. Siswa menjadi tidak kreatif karena pengetahuan hanya ditransfer dan tidak melibatkan kegiatan dan penilaian dari siswa. Pendidik perlu menyadari bahwa anak, meski kecil, sudah punya suatu pemikiran pula dalam taraf mereka. Inilah yang perlu dibantu perkembangannya.
Dalam teori konstruktivisme dikatakan bahwa dalam proses belajar, siswalah yang harus mendapatkan tekanan, merekalah yang harus aktif mengembangkan pengetahuan mereka, bukanya guru ataupun orang lain. Mereka yang harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar siswa aktif ini dalam dunia pendidikan kiranya sangat penting dan perlu terus dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Mereka akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal karena mereka berpikir dan bukan meniru saja.
Banyak negara mengadakan perubahan-perubahan secara mendasar terhadap sistem dan praktik pendidikan mereka setelah mendapat sumbangan pemikiran dari teori konstruktivisme, bahkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang diterapkan di Indonesia-pun tak luput dari pengaruh teori ini. Lahirnya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) telah mengubah paradigma baru dalam proses pembelajaran. Guru di sekolah bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi merupakan bagian integral dalam sistem pembelajaran. Namun dengan alasan masih banyaknya kendala yang dihadapi dalam penerapannya, kebanyakan pembelajaran di Indonesia masih menggunakan cara lama.
Salah satu yang dianggap sebagai kendala dalam pelaksanaan konstruktivisme adalah bahwa situasi dan kondisi setiap sekolah tidak sama. Ada beberapa sekolah yang tidak mempunyai macam-macam sarana yang dapat membantu keaktifan dan kreativitas siswa. Selain itu dengan alasan tertentu, guru tidak bisa membentuk kelompok belajar dalam kelasnya. Hal itu dianggap sebagai kendala dalam menerapkan konstruktivisme di kelasnya. Sebenarnya hal ini tidak perlu terjadi jika guru memahami paham kontruktivisme ini. Konstruktivisme radikal dan biologi kognitif sebagai varians dari konstruktivisme berpandangan bahwa penerima (siswa) sendiri yang harus mengkonstruksi pengetahuan, siswa adalah manusia yang mampu meregulasi dirinya sendiri tanpa bantuan dari pihak luar. Objek maupun lingkungan hanyalah sarana untuk terjadinya konstruksi tersebut.
Dalam pandangan konstruktivisme radikal, sebenarnya tidak ada konstruksi sosial, yang mengatakan pengetahuan itu dikonstruksikan bersama, karena masing-masing orang harus menyimpulkan dan menangkap sendiri makna terakhir. Pandangan orang lain adalah bahan untuk dikonstruksikan dan diorganisasikan dalam pengetahuan yang sudah dipunyai orang itu sendiri.
Menurut penulis, yang kiranya perlu dikembangkan dalam pembelajaran kita adalah semakin dikembangkannya kesempatan bagi siswa sendiri untuk mengekspresikan apa yang mereka ketahui dan yang tidak mereka ketahui. Dengan mengungkapkan gagasan dan pemikirannya, siswa akan dibantu untuk lebih berpikir dan merefleksikan pengetahuan mereka sendiri. Diskusi kelompok adalah salah satu cara saja, masih banyak cara yang dapat menantang siswa lebih berpikir dan membangun pengetahuan mereka seperti debat, menulis paper, membuat laporan penelitian, meneliti, mengungkapkan pertanyaan dan juga sanggahan terhadap yang diungkapkan guru, dan lain-lain.

4. Untuk Direfleksikan
Selama ini praktik pendidikan kita masih sibuk dengan UN, seragam, les tambahan, buku pelajaran, yang orientasinya hanya praktik penjejalan materi pelajaran dan hasil yang akan dicapai dengan mengabaikan proses berpikir dan pembentukan pengetahuan oleh siswa sendiri secara aktif. Sistem evaluasi dengan multiple choice tidak memungkinkan siswa mengungkapkan gagasan mereka sendiri dengan lebih leluasa. Tidak mengherankan bila hasil survei Unesco terhadap anak usia 15 tahun di 43 negara menempatkan Indonesia sebagai yang terendah bersama Albania dan Peru dalam hal basic skills yang meliputi kemampuan matematika, membaca, dan sains.
Kita tak perlu pongah dengan mengatakan bahwa ada anak-anak Indonesia yang berhasil menyabet kejuaraan dunia sejenis Olimpiade Matematika dan lain-lain, karena “anak unggul” semacam itu jumlahnya hanya satu dua di antara jutaan anak Indonesia lainnya. Justru lebih parah lagi apabila orientasi pendidikan tertuju hanya untuk meraih juara sambil menutup mata terhadap kenyataan yang ada secara umum.
Konstruktivisme, khususnya konstruktivisme radikal, bisa dijadikan alat refleksi kritis bagi para penyusun kurikulum, pengambil kebijakan, dan pendidik untuk melakukan revitalisasi sistem dan praktik pendidikan kita sehingga perubahan-perubahan yang ada bukan sekadar di permukaan, namun menukik ke “roh” pendidikan dan pembelajaran itu sendiri.

IMPLEMENTASI PENDEKATAN KONTEKSTUAL BERNUANSA LOCAL GENIUS UNTUK MENINGKATKAN AKTIVITAS DAN PRESTASI BELAJAR MATEMATIKA SISWA

Oleh
Gede Benny Kurniawan,
SMKN 1 Singaraja


ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan: (1) meningkatkan aktivitas belajar siswa, dan (2) meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dalam dua siklus. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja tahun pelajaran 2009/2010. Data aktivitas belajar diperoleh dengan menggunakan lembar observasi. Data prestasi belajar matematika siswa diperoleh dengan menggunakan tes prestasi belajar. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan statistik deskriptif. Hasil analisis menunjukkan: (1) terjadi peningkatan aktivitas belajar siswa (skor rata-rata 45,88% dengan kategori cukup aktif pada siklus I meningkat menjadi 64,29% dengan kategori aktif pada siklus II), dan (2) terjadi peningkatan prestasi belajar matematika siswa (skor rata-rata 67,2 pada siklus I meningkat menjadi 72,4 pada siklus II). Ketuntasan belajar klasikalnya meningkat yaitu dari 83,72% pada siklus I menjadi 95,35% pada siklus II;

Kata-kata kunci : aktivitas belajar, prestasi belajar, kontekstual, local genius

ABSTRACT
This research aimed at: (1) improving the students’ activity ; and (2) improving the students’ mathematic learning achievement. This research was designed in the form of an action based research which was conducted in two cycles. The subjects of the research were the students of class X B in the program of marketing of SMKN 1 Singaraja, in the academic year of 2009/2010. The data of the stundents’ learning activities were gained by using questionnaire. The data of mathematic learning achievement were taken by using achievement test. The data were analyzed by using descriptive statistic. The analysis result show that: (1) there were improvement of students activity (the average score was 45,88% with active enough category in the first cycle improved to be 64,29% with active category in the second cycle), (2) there are the improvement at students’ achievement in learning mathematics (the average score was 67,2 on the first cycle improved to be 72,4 on the second cycle). The clasical learning achievement improved from 83,72% in the first cycle to 95,35% in the second cycle.

Key words : learning activity, students’ achievement, contextual, local genius



1. Pendahuluan
Salah satu karakteristik matematika adalah mempunyai objek kajian yang bersifat abstrak (Zainuri, 2007). Sifat abstrak objek matematika tersebut tetap ada pada matematika sekolah, ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam mempelajari matematika sehingga banyak dari mereka menakuti dan memusuhi mata pelajaran tersebut. Kenyataan ini sangat ironis, padahal matematika merupakan ilmu dasar dalam pengembangan sains dan teknologi yang tidak terpisahkan lagi dari kehidupan manusia. Sehingga dapat dikatakan bahwa maju tidaknya perkembangan teknologi suatu negara tergantung dari penguasaan dan kemajuan ilmu matematika di negara tersebut.
Pentingnya keberadaan ilmu matematika juga sangat dirasakan oleh Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), sebab keberhasilan siswa lulusan SMK dalam dunia kerja sangat dipengaruhi oleh penguasaan ilmu matematika. Jika seorang siswa lulusan SMK dari kelompok bisnis dan manajemen tidak bisa merencanakan suatu usaha agar mampu mendapatkan untung dalam jumlah tertentu, maka hampir bisa dipastikan siswa tersebut tidak akan berhasil dalam usahanya. Ilmu matematika juga mengajarkan siswa bagaimana caranya menarik kesimpulan yang logis dari beberapa fakta yang ditemui, sehingga jika siswa mampu menguasai ilmu matematika tersebut maka siswa akan mampu mengambil suatu keputusan dengan cepat dan tepat.
Namun, pentingnya penguasaan matematika di Sekolah Menengah Kejuruan ini tidak diikuti oleh tingginya prestasi belajar matematika, khususnya di kelas X B Tata Niaga SMK Negeri 1 Singaraja. Ini ditunjukkan oleh nilai rata-rata prestasi belajar matematika siswa yang tidak pernah lebih dari 60, berturut-turut selama tiga tahun terakhir, ini yaitu sejak tahun ajaran 2006/2007 sampai dengan 2008/2009. Pada tahun ajaran 2006/2007, rata-rata hasil belajarnya hanya mencapai 55, kemudian meningkat menjadi 58 pada tahun ajaran 2007/2008 dan turun kembali menjadi 56 pada tahun ajaran 2008/2009. Keadaan ini menunjukkan bahwa prestasi belajar matematika yang dicapai oleh siswa masih jauh dari harapan, mengingat dalam kriteria ketuntasan minimal penguasaan materi dituntut minimal 60 dan ketuntasan belajar klasikalnya minimal 85 %.
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara dengan beberapa pihak, baik guru maupun siswa, ternyata ada beberapa permasalahan mendasar yang ditemui antara lain. Pertama, aktivitas belajar matematika siswa masih relatif rendah, ini terlihat dari rendahnya antusiasme siswa dalam mengikuti pembelajaran, sedikitnya siswa yang mau menjawab pertanyaan-pertanyaan guru dan kurangnya interaksi antar siswa. Salah satu penyebabnya adalah karena mereka takut dicemooh oleh temannya, mereka malu ditertawakan karena salah dalam menjawab pertanyaan guru atau menanyakan sesuatu yang dirasakan mudah oleh teman-temannya yang lain. Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi apabila di dalam kelas itu telah dihayatinya sikap saling hormat menghormati antar sesama.
Kedua, siswa sering mengalami kesulitan dalam memahami konsep. Ini merupakan dampak dari pembelajaran konvensional yang lebih menekankan pada pengahafalan materi-materi atau contoh-contoh yang diberikan oleh guru tanpa terjadi pembentukan konsepsi yang benar dalam struktur kognitif siswa. Abstraknya objek matematika juga menjadi salah satu penyebab sulitnya siswa memahami konsep matematika, apalagi dalam pembelajaran guru tidak mampu mengusahakan agar fakta, konsep, operasi, dan prinsip dalam matematika terlihat konkret.
Ketiga, siswa tidak mengetahui hubungan antara konsep-konsep matematika yang dipelajari dengan situasi dunia nyata mereka. Hal ini senada dengan yang ditemukan oleh Jenning dan Dunne (1999). Saat ini, pendidikan yang diberikan di sekolah telah menjauhkan anak dari kehidupan yang sesungguhnya (Subagya, 2007). Akibatnya, siswa kurang menghayati dan memahami konsep-konsep matematika, dan siswa mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-harinya. Hal ini akan berdampak pada adanya anggapan dari siswa bahwa mata pelajaran matematika tidak penting, karena tidak dapat diterapkan dalam dunia kerja yang nantinya mereka geluti.
Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, tampak bahwa siswa sangat memerlukan situasi belajar matematika yang berbeda, yang bisa membuat mereka mudah memahami konsep serta mampu menghubungkan konsep-konsep tersebut di dalam kehidupan sehari-hari mereka, khususnya di dalam dunia kerja yang akan mereka geluti. Mengaitkan pengalaman kehidupan nyata anak dengan ide-ide matematika dalam pembelajaran di kelas penting dilakukan agar pembelajaran bermakna (Soedjadi, 2000 dalam Zainuri, 2007). Di samping itu siswa juga memerlukan sesuatu yang bisa membuatnya tertarik untuk mengikuti pelajaran matematika. Untuk itu perlu kiranya dicari suatu pendekatan dalam pembelajaran yang lebih mengaktifkan siswa “doing mathematic”, maksudnya suatu pendekatan yang tidak hanya menuntut siswa untuk menghafal rumus-rumus tapi mampu mendorong siswa untuk dapat mengkonstruksi pengetahuan di benak mereka sendiri yang nantinya pengetahuan itu akan bermanfaat bagi mereka baik dalam kehidupan sehari-hari maupun terkait dengan pelajaran lainnya. Salah satu pendekatan dalam pembelajaran yang dapat melakukan hal itu adalah pendekatan kontekstual (Nurhadi, 2002)
“Pendekatan Kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari” Nurhadi (2002 : 26). Pembelajaran berbasis kontekstual melibatkan tujuh komponen utama pembelajaran produktif (Nurhadi, 2002) yakni “konstruktivisme (Constructivism), menemukan (inquiry), bertanya (Questioning), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), refleksi (Reflection), dan penilaian yang sebenarnya (Authentic Assessment)”
Salah satu penyebab kegagalan sektor pendidikan adalah diabaikannya nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat asli yang penuh dengan kearifan lokal (local genius) dalam pembelajaran di kelas (Suastra, 2007). Latar belakang budaya yang dimiliki dan dibawa ke dalam kelas selama pembelajaran berlangsung memainkan peran yang sangat penting pada proses penguasaan materi pelajaran. Selain itu pada Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 ayat 16 secara tegas menyebutkan salah satu jenis penyelenggaraan pendidikan adalah pendidikan berbasis masyarakat (Ardana, 2007). Pendidikan berbasis masyarakat adalah penyelenggaraan pendidikan berdasarkan kekhasan agama, sosial, budaya, aspirasi, dan potensi masyarakat sebagai perwujudan pendidikan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Dengan menerapkan konsep-konsep budaya lokal seperti saling menghormati antar sesama, maka diharapkan siswa berani menjawab pertanyaan guru dan berani bertanya jika ada materi yang belum dimengerti. Sehubungan dengan itu, maka dalam pembelajaran yang diterapkan perlu dimasukkan konsep-konsep atau ciri-ciri budaya Bali yang disebut Local Genius.
I Ketut Gobyah mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah. Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci firman Tuhan dan berbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal (http://www.balipos. co.id). Dalam penelitian ini beberapa kearifan lokal yang diambil adalah konsep-konsep lokal seperti rwabhineda, tri hita karana dan jengah.
Dalam pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menerapkan pendekatan kontekstual, setiap siswa diharapkan memberikan kontribusi pemikiran baru yang tercipta melalui pemecahan masalah matematika sehingga terbentuk suatu lingkungan belajar yang kondusif sedemikian rupa sehingga setiap individu dalam kelas dapat berfungsi dan dipandang sebagai sumber informasi atau sebagai sumber belajar. Apalagi dalam pembelajaran, siswa selalu diingatkan lagi tentang konsep-konsep lokal yang telah mereka ketahui sebelumnya, seperti saling hormat-menghormati antar sesama, menghargai pendapat orang lain, dan lain sebagainya. Dengan konsep-konsep lokal itu, siswa tidak canggung untuk berpartisifasi aktif dalam pembelajaran. Ini menyebabkan pembelajaran lebih bermkna sehingga siswa mampu menguasai konsep setiap indikator yang dipelajarinya, ini berdampak pada peningkatan prestasi belajarnya.
Atas dasar kenyataan yang diuraikan tersebut, penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul “Implementasi Pendekatan Kontekstual Bernuansa Local Genius untuk Meningkatkan Aktivitas dan Prestasi Belajar Matematika”
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut. (1) Apakah pendekatan kontekstual bernuansa local genius mampu meningkatkan aktivitas belajar matematika siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja ?, dan (2) Apakah pendekatan kontekstual bernuansa local genius mampu meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja ?
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja dengan menerapkan pendetakan kontekstual bernuansa local genius dalam pembelajaran matematika, dan (2) Meningkatkan prestasi belajar siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja dengan menerapkan pendekatan kontekstual bernuansa local genius dalam pembelajaran matematika.
Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini adalah : (1) bagi siswa, implementasi pendetakan kontekstual bernuansa local genius dalam pembelajaran matematika dapat melatih dan membantu siswa menghubungkan konsep pelajaran dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, (2) bagi guru, dengan melakukan penelitian ini, guru dapat memperoleh pengalaman langsung dalam melakukan penelitian, khususnya penelitian tindakan kelas dengan menerapkan pendetakan kontekstual bernuansa local genius, dan (3) bagi sekolah, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai salah satu alternatif dalam memilih perangkat pembelajaran sebagai upaya meningkatkan aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa

2. Metode Penelitian
Jenis Penelitian yang dilaksanakan ini adalah penelitian tindakan kelas atau classroom action research yang secara umum bertujuan untuk meningkatkan dan memperbaiki proses pembelajaran di sekolah pada umumnya dan dalam kelas pada khususnya. Dalam pelaksanaan tindakan digunakan penerapan pendekatan kontekstual bernuansa local genius..
Subyek penelitian ini adalah siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja tahun ajaran 2009/2010 yang berjumlah 43 orang dengan 19 orang siswa laki-laki dan 24 orang siswa perempuan. Sedangkan obyek dari penelitian ini adalah aktivitas belajar dan prestasi belajar matematika siswa. Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian tindakan kelas dengan mengikuti beberapa tahapan seperti yang dikemukakan Kemmis & Taggart (1998) yaitu 1) tahap perencanaan (planing), 2) tahap tindakan (action), 3) tahap observasi / evaluasi (evaluation), dan 4) tahap refleksi (reflection), kemudian kembali lagi ke tahap perencanaan, tahap tindakan dan seterusnya sehingga membentuk siklus. Penelitian ini dilaksanakan sebanyak 2 siklus, masing-masing siklus terdiri dari tiga kali pertemuan dengan mengambil materi operasi hitung bilangan riil untuk siklus I dan perbandingan untuk siklus II.
Pada tahap perencanaan siklus I, hal-hal yang perlu dipersiapkan meliputi: 1) menentukan materi ajar yaitu operasi hitung bilangan riil, 2) menyiapkan permasalahan-permasalahan nyata yang sesuai dengan materi, 3) Membentuk kelompok siswa yang bersifat heterogen, baik jenis kelamin maupun kemampuan kognitifnya dengan anggota lima sampai enam orang. Indikator kemampuan kognitif siswa digunakan nilai matematika pada uji standarisasi matematika pra penjurusan, 4) menyiapkan LKS, 5) menyiapkan Perangkat Pembelajaran (RPP), dan 5) menyiapkan instrumen penelitian berupa lembar observasi aktivitas belajar siswa dan tes Prestasi Belajar I
Langkah-langkah yang dilaksanakan pada tahap pelaksanaan tindakan dipaparkan sebagai berikut. Pada Tahap pendahuluan guru menginformasikan beberapa materi yang harus diingat kembali oleh siswa sebagai prasyarat dalam mempelajari materi yang akan diberikan, kemudian guru menceritakan sebuah kisah nyata yang berhubungan dengan materi, cerita ini dikemas secara ringan dan lucu dengan diselingi beberapa pertanyaan untuk memotivasi siswa. Pada tahap inti pembelajaran guru melakukan langkah-langkah sebagai berikut.
1. Setelah siswa berkumpul sesuai dengan kelompoknya pada tempat yang telah ditentukan, guru memberikan fasilitas pada siswa berupa LKS dan beberapa alat peraga pada masing-masing kelompok.
2. Siswa menguasai materi yang ada pada LKS dilengkapi dengan sedikit penjelasan dari guru
3. Siswa diberi kesempatan berdiskusi dalam kelompoknya untuk membahas masalah-masalah yang tertuang pada LKS, siswa menyelesaikan masalah dengan memilih atau membangun strategi sendiri (pada tahap ini, guru mengingatkan konsep rwabhineda pada siswa, bahwa kita harus saling mengahargai pendapat teman tanpa harus mempertajam perbedaan yang ada dan tidak cepat menyalahkan pendapat teman).
4. Guru berkeliling dan mengawasi siswa selama kerja kelompok berlangsung (pada tahap ini guru juga mengingatkan siswa tentang konsep tri hita karana, bahwa mereka wajib membantu teman yang kesulitan dalam kelompoknya).
5. Setelah waktu untuk diskusi kelompok berakhir, dilanjutkan dengan diskusi kelas, pada saat ini semua kelompok memberikan pendapatnya masing-masing yang masih dalam bentuk pengetahuan informal, kemungkinan antara kelompok yang satu dengan yang lainnya memiliki cara memperoleh jawaban yang berbeda-beda, jika demikian maka guru berperan untuk mengetengahinya. (pada tahap ini guru menananmkan konsep jengah pada siswa, bahwa mereka pasti bisa, mereka pasti bisa mengerjakan soal-soal tersebut. Guru juga memberikan penguatan bagi siswa yang berhasil menjawab soal, dan memberikan kalimat-kalimat motivasi bagi yang gagal menjawab soal)
6. Dari hasil diskusi tersebut, Guru secara perlahan membawa siswa ke matematika formal, dilanjutkan dengan pemberian beberapa butir soal kepada siswa untuk kemudian didiskusikan bersama-sama
Pada Tahap Penutup, guru mengajak siswa untuk membuat rangkuman materi kemudian dilanjutkan dengan memberikan tes kecil yang diselesaikan secara individual dan diakhiri dengan pemberian PR
Observasi mengenai aktivitas belajar dilakukan oleh peneliti dan satu orang rekan peneliti yang membantu pelaksanaan penelitian ini. Observasi mengenai aktivitas belajar siswa dilakukan dengan cara mengisi lembar observasi yang telah disediakan sebelumnya. Evaluasi dilaksanakan pada akhir siklus dengan menggunakan tes prestasi belajar.
Refleksi dilakukan oleh peneliti pada akhir siklus, sebagai acuan dalam refleksi ini adalah hasil observasi dan tes prestasi belajar serta hasil wawancara kepada siswa terhadap kesulitan-kesulitan yang dialami siswa dalam mengikuti pembelajaran. Hasil refleksi ini digunakan sebagai dasar untuk memperbaiki serta menyempurnakan perencanaan dan pelaksanaan tindakan pada siklus berikutnya.
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini terdiri atas: (1) data aktivitas belajar, yang dikumpulkan dengan menggunakan lembar observasi aktivitas belajar siswa pada setiap pertemuan. Lembar observasi yang digunakan berisikan deskriptor-deskriptor dalam indikator prilaku siswa yang akan diamati selama proses pembelajaran berlangsung. Setiap deskriptor pada masing-masing indikator ditentukan persentase banyak siswa yang menampakkan deskriptor tersebut, dan (2) data mengenai prestasi pelajar siswa, yang dikumpulkan dengan tes prestasi belajar siswa pada akhir setiap siklus. Tes prestasi belajar ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan tindakan yang dilakukan dalam meningkatkan pemahaman konsep siswa terhadap materi yang diberikan. Instrumen ini disusun oleh peneliti dengan berpedoman terhadap tujuan pengajaran yang telah dirumuskan. Tes prestasi belajar ini terdiri dari 10 butir soal esay.
Analisis terhadap aktivitas siswa dilakukan secara deskriptif. Kriteria penggolongan aktivitas disusun berdasarkan mean ideal (MI) dan standar deviasi ideal (SDI). Aktivitas siswa ditentukan dengan menghitung rata-rata persentase siswa yang memenuhi indikator aktivitas siswa untuk kemudian dikategorikan dengan pedoman berikut.
Rentangan skor Kategori
75% ≤ A Sangat aktif
58,33% ≤ A < 75% Aktif 41,66% ≤ A < 58,33% Cukup aktif 24,99% ≤ A < 41,66% Kurang aktif A < 24,99% Sangat Kurang aktif Aktivitas siswa diharapkan minimal ada pada kategori aktif. Data Prestasi belajar siswa dianalisis secara deskriptif yaitu dengan menentukan nilai rata-rata prestasi belajar (mean) Kualifikasi prestasi belajar ditentukan dengan kriteria berikut. Rentangan Nilai Kategori 85 ≤ M ≤ 100 Sangat baik 70 ≤ M < 85 Baik 55 ≤ M < 70 Cukup 40 ≤ M < 55 Kurang 0 ≤ M < 40 Sangat kurang Dengan kriteria keberhasilan adalah nilai rata-rata prestasi belajar kelas sekurang-kurangnya 60 sesuai dengan nilai KKM kedua materi yang diambil. Dihitung juga daya serap dan ketuntasan belajar siswa dengan kriteria keberhasilan daya serap (DS)  60% dan ketuntasan belajar (KB)  85%. 3. Hasil Penelitian Berdasarkan hasil analisis pada siklus I dan II, didapatkan data sebagai berikut. SIKLUS Aktivitas Belajar Prestasi Belajar Skor rata-rata Kategori Skor rata-rata Kategori KB I 45,88% Cukup aktif 67,2 cukup 83,72% II 64,29% aktif 72,4 baik 95,35% Dari hasil refleksi pada siklus I, terdapat kendala-kendala yang menyebabkan belum tercapainya hasil yang diharapkan, yaitu: (1) ada beberapa siswa yang tidak mau berpartisipasi dalam kelompoknya. Dari hasil pengamatan dan wawancara, hal ini disebabkan karena beberapa di antara mereka masih belum mengerti tentang konsep-konsep local genius yang disebutkan guru, beberapa siswa juga tidak mendengarkan kalimat-kalimat guru yang berkaitan dengan local genius yang disampaikan pada saat mereka mengerjakan LKS dalam kelompoknya, mereka asik mengerjakan soal-soal yang ada pada LKS ; (2) banyak siswa yang mengeluh, mereka mengatakan bahwa waktu yang diberikan untuk diskusi terlalu sedikit, sehingga banyak permasalahan yang belum diselesaikan dan (3) pada saat menghadapi tes, masih banyak siswa yang belum mempersiapkan diri secara maksimal, hanya ada beberapa orang siswa saja yang mau dan berani bertanya pada guru pengajar di luar jam pelajaran. Berdasarkan kendala-kendala yang dihadapi pada siklus I, maka pada siklus II dilakukan upaya-upaya perbaikan yaitu: (1) kalimat-kalimat yang benuansa local genius disampaikan sebelum kerja kelompok dilangsungkan, serta diulangi lagi pada saat kerja kelompok ; (2) untuk menambah antusias dan motivasi siswa pada siklus II peneliti/guru memilih salah satu kelompok sebagai kelompok terbaik dengan kriteria dapat menyelesaikan LKS paling cepat dan bila salah satu anggotanya yang ditunjuk secara acak mampu menyelesaikan soal-soal yang diberikan oleh guru dan (3) guru / peneliti memberikan arahan kepada siswa agar tidak malu bertanya, baik pada temannya maupun pada guru pengajarnya di luar jam pelajaran jika ada soal-soal yang tidak mampu dipecahkannya. Selain itu guru juga memberikan kesempatan kepada siswa ( 15 menit) untuk bertanya sebelum tes dimulai. Dengan melakukan perbaikan/pemecahan masalah terhadap kendala-kendala yang dihadapi pada siklus I, pembelajaran pada siklus II tampak lebih baik dari sebelumnya, hampir semua siswa berperan aktif dalam pembelajaran, hal ini berdampak pada hasil yang didapatkan. Hasil ini meyakinkan pendapat Erman Suherman (2010) yang menyatakan bahwa pendekatan kontekstual sejalan dengan tumbuh-kembangnya matematika itu sendiri dan ilmu pengetahuan secara umum. Matematika tumbuh dan berkembang bukan melalui pemberitahuan, akan tetapi melalui inkuiri, kontruksivisme, tanya-jawab, dan semacamnya yang dimulai dari pengamatan pada kehidupan sehari-hari yang dialami secara nyata Secara umum penelitian ini dapat dikatakan berhasil, karena dua butir kriteria keberhasilan yang diharapkan dapat tercapai. Aktivitas dan prestasi belajar meningkat setelah diterapkan pendekatan kontekstual bernuansa local genius pada kelas tersebut. Hal ini senada dengan hasil yang didapatkan oleh Reni Astari Hidayat (2009) yang mengatakan bahwa terjadi peningkatan aktivitas siswa kelas VIII A SMP Muhamadyah 3 dalam pembelajaran setelah diterapkannnya pendekatan kontekstual. Selain itu Edy Mulyono (2008) juga mengatakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan kontekstual menghasilkan prestasi belajar yang lebih baik dibandingkan dengan pendekatan konvensional. Keberhasilan yang diperoleh dalam penelitian ini disebabkan karena adanya kelebihan-kelebihan yang dimiliki oleh pendekatan kotekstual bernuansa local genius yang diterapkan dalam pembelajaran, kelebihan-kelebaihan tersebut diantaranya: (1) dengan pembelajaran kontekstual siswa menjadi lebih mudah memahami konsep karena konsep matematika dikonstruksi sendiri oleh siswa berdasarkan pengalaman yang dimiliki sebelumnya ; (2) mereka menjadi tahu hubungan antara konsep-konsep matematika yang dipelajari dengan situasi dunia nyata ; (3) dengan implementasi pendekatan kotekstual bernuansa lodal genius, keragaman pendapat dan kreatifitas siswa dalam menyelesaikan permasalahan sangat dihargai. Ini akan mendorong siswa untuk berani mengajukan pendapat sehingga siswa tidak tegang belajar matematika, suasana belajar di kelas tampak lebih aktif, semua siswa berperan dalam proses pembelajaran yang dilaksanakan ; (4) guru bisa lebih banyak menggunakan waktunya untuk menjalankan fungsinya sebagai penasehat, pembimbing, motivator, dan fasilitator dalam kegiatan belajar bukan sebagai penceramah di depan kelas. Namun masih ada beberapa kelemahan dan kendala yang ditemui dalam penerapan pendekatan kontekstual bernuansa local genius ini yaitu diantaranya: (1) waktu yang dibutuhkan untuk menerapkan model pembelajaran ini cukup banyak, siswa sering mengeluh kekurangan waktu, dan (2) jumlah siswa yang dilibatkan dalam penelitian cukup banyak sehingga pelaksanaannya tidak optimal. 4. Penutup Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, implementasi pendekatan kotekstual bernuansa local genius dapat meningkatkan aktivitas belajar matematika siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja, skor rata-rata aktivitas belajar meningkat dari sebesar 45,88% pada siklus I dengan kategori cukup aktif menjadi sebesar 64,29% pada siklus II dengan kategori aktif. Kedua, implementasi pendekatan kotekstual bernuansa local genius dapat meningkatkan prestasi belajar matematika siswa kelas X B Tata Niaga SMKN 1 Singaraja, dengan skor rata-rata prestasi belajar siswa yang diperoleh pada siklus I dan II masing-masing sebesar 67,2 dan 72,4. Ketuntasan belajar klasikal pada siklus I dan II masing -masing sebesar 83,72% dan 95,35%. Berdasarkan hasil penelitian implementasi pendekatan kotekstual bernuansa local genius dalam pembelajaran matematika terjadi peningkatan aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa, maka disarankan hal-hal sebagai berikut. (1) Kepada guru matematika diharapkan untuk mencoba menerapkan pendekatan kotekstual bernuansa local genius dalam pembelajaran sebagai upaya untuk meningkatkan aktivitas belajar dan prestasi belajar siswa, (2) Kepada Kepala Sekolah diharapkan untuk selalu mendukung upaya yang dilakukan guru dalam memperbaiki kualitas pembelajarannya, baik dalam bentuk moril maupun material. DAFTAR PUSTAKA Ardana, I Made. 2007. Pemanfaatan Local Genius Dalam Pembelajaran Matematika. Makalah disajikan dalam seminar FMIPA UNDIKSHA tentang pengkajian local genius dalam pengembangan pendidikan MIPA pada hari kamis, 27 September 2007 Gobyah, Ketut. “Berpijak pada Kearifan Lokal”, tersedia di http://www.balipos. co.id, diakses tanggal 10 Juli 2009 Hidayat, Reni Astari. 2009. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Aktivitas Belajar Siswa. Laporan Hasil Penelitian (tidak diterbitkan). Jenning, Sue & R. Dunne. 1999. Math Stories, Real Stories, Real-life Stories. http:// www.ex.ac.uk/telematics/T3/maths/actar01.htm. diakses tanggal 10 Juli 2009 Mulyono, Edy. 2008. Eksperimentasi Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Kotekstual pada Pokok Bahasan Aritmatika Sosial. Tesis (tidak diterbitkan) Nurhadi, 2002. Pendekatan Kontekstual (Contextual Teaching and Learning (CTL)). Jakarta : Depdiknas Suastra, I Wayan. 2007. Pembelajaran Sains (Fisika) Berbasis Local Genius Sebagai Upaya Mengembangkan Pendidikan Nilai di Sekolah. Makalah disajikan dalam seminar FMIPA UNDIKSHA tentang pengkajian local genius dalam pengembangan pendidikan MIPA pada hari kamis, 27 September 2007 Subagia, I Wayan. 2007. Beberapa Konsep Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal “Masyarakat Bali”. Makalah disajikan dalam seminar FMIPA UNDIKSHA tentang pengkajian local genius dalam pengembangan pendidikan MIPA pada hari kamis, 27 September 2007 Suherman, Erman. 2000. Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Matematika. Tersedia di http://docs.google.com/viewer?a=v&q=cache: ..., diakses tanggal 18 Mei 2010 Zainuri, 2007. Pembelajaran Matematika Realistik (RME). Tersedia di http://zainurie.wordpress.com/2007/04/13/pembelajaran-matematika-realistik-rme/. Diakses pada tanggal 9 Agustus 2008

15 Maret 2011

MENCINTAI MATEMATIKA LEWAT KUIS ATAU GAME

Oleh. Gede Benny Kurniawan

Ada yang takut dengan narkoba ? wajar apabila ada di antara kalian (para siswa) yang takut dengan yang namanya narkoba. Tapi jika ada di antara siswa yang takut dengan matematika, ini tidak wajar apalagi sampai memusuhi pelajaran tersebut.
Penyalahgunaan narkoba memang tidak memberikan manfaat sedikitpun bagi pemakainya bahkan justru memberikan dampak negatif yang luar biasa. Sedangkan matematika adalah ilmu yang sangat besar kontribusinya bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Melalui teori-teori dalam ilmu matematika , IPTEK berkembang dengan amat sangat pesatnya sehingga sekarang kita bisa menikmati hasil-hasil dari perkembangan IPTEK tersebut. Dari fakta tersebut, sudah sepantasnyalah kita menjauhi narkoba yang notabene tidak memberikan manfaat positif bagi kita, dan semestinya kita lebih mendalami dan mencintai matematika sebagai ilmu yang dapat melatih daya nalar kita.
Namun, fenomena yang terjadi justru sebaliknya, banyak siswa yang menakuti dan memusuhi matematika dan cenderung menyukai sesuatu yang jelas-jelas berakibat buruk terhadap diri mereka, seperti merokok, minum-minuman keras, dan fatalnya ada siswa (bukan siswa SMKN 1 Singaraja) yang diindikasikan menggunakan narkoba.
Ini merupakan tantangan yang cukup serius bagi kita sebagai tenaga pendidik, khususnya guru pengajar matematika untuk mengubah presepsi siswa tentang matematika. Akan tetapi, kadangkala kita sebagai guru pengajar matematika merasa bangga apabila ada yang mengatakan bahwa matematika adalah ilmu yang sulit dan rumit dan kadangkala kita setuju dengan opini publik yang mengatakan bahwa matematika merupakan ilmu yang patut ditakuti.
Hal ini sebenarnya tidak perlu terjadi pada diri kita sebagai guru pengajar matematika jika kita memang berusaha untuk mengajak siswa tidak takut dan mulai mencintai matematika. Untuk itu, sebagai langkah awal kita semua harus sepakat bahwa matematika bukan narkoba atau hantu yang perlu ditakuti.
Banyak cara yang dapat ditempuh untuk mengajak siswa lebih menyukai matematika, salah satunya adalah dengan memilih metode pengajaran yang tepat disertai dengan gaya mengajar yang elegan. Gaya mengajar yang tidak terlalu tegang dengan diselingi joke-joke segar yang berhubungan dengan materi biasanya mampu menghilangkan fobia siswa terhadap matematika. Apalagi jika kita bisa membuat game-game atau kuis-kuis yang berhubungan dengan matematika, ini cukup ampuh untuk menarik perhatian siswa. Untuk itu, di akhir tulisan ini saya sertakan beberapa kuis atau teka-teki matematika yang mudah-mudahan bisa mengajak siswa untuk lebih tertarik lagi dengan matematika.
Tidak mudah memang mengubah sesuatu yang sudah dianggap sebagai suatu kewajaran, apalagi sampai mengubah perasaan takut siswa terhadap matematika menjadi cinta, tapi dengan selalu berusaha dan berjuang pasti kita bisa. Bukankah dalam Kitab Suci Bhagawad Gita dikatakan bahwa hidup adalah suatu tantangan dan petualangan, oleh karena itu hadapi dan berjuanglah !


* * * * * * * * * * * * * *

Kuis I ;
Kuis yang pertama ini lebih ditujukan kepada anak-anak jurusan penjualan, tapi bukan berarti jurusan yang lain tidak boleh menjawab.
Misalnya kamu sebagai penjual minyak tanah. Kamu memiliki satu drum penuh minyak tanah yang volumenya 9 liter. Kemudian ada 2 orang pembeli dengan membawa jirigen kosong yang volumenya masing-masing 5 liter dan 4 liter. Kedua pembeli tadi bermaksud membeli 3 liter minyak tanah. Bagaimana cara kamu melayani kedua pembeli tersebut apabila kamu hanya memiliki alat pengukur (cantingan) dengan takaran 2 liter saja tanpa harus meminjam cantingan ke tempat lain ?

Kuis II ;
Kuis yang kedua ini ditujukan untuk semua jurusan, bisa digunakan untuk menarik perhatian siswa dan sedikit memberikan hiburan.
Misalnya kamu sebagi petugas penjara, kemudian kamu menghadapi kasus seperti berikut ini : seseorang karena suatu kasus dikenai hukuman seumur hidup, karena ada hal-hal yang meringankan maka hukumannya dipotong setengahnya. Bagaimana cara kamu melaksanakan hukuman ?